Nama Yeonsangun (연산군) dalam sejarah Korea hampir selalu didahului oleh gelar “Raja Tirani” atau “Penguasa Gila”. Pemerintahannya (1494-1506) sering digambarkan sebagai salah satu periode paling gelap dan paling kacau dalam Dinasti Joseon yang beradab. Namun, di balik narasi sederhana tentang seorang raja yang gila dan haus darah, tersembunyi cerita yang lebih kompleks. Apakah Yeonsangun hanyalah boneka yang dimanipulasi oleh kekuatan politik di sekitarnya, atau justru dialah dalang yang dengan sengaja menciptakan kekacauan untuk mempertahankan kekuasaannya? Artikel ini akan mengupas tuntas kehidupan, kebijakan, dan psikologi penguasa yang paling difitnah di Korea ini.

Latar Belakang Kelam: Trauma Masa Kecil yang Membentuk seorang Raja
Untuk memahami Yeonsangun, kita harus memulai dari sebelum ia naik takhta. Ia terlahir sebagai Yi Yung, putra mahkota dari Raja Seongjong. Ibundanya adalah Ratu Yun, selir kedua raja yang sangat dicintainya. Namun, pada tahun 1479, Ratu Yun jatuh dalam korban intrik politik istana yang kejam. Ia difitnah melakukan perbuatan serong dan menunjukkan rasa cemburu yang ekstrem terhadap selir lain. Akibatnya, ia dijatuhi hukuman mati dengan cara dicekik dan diracun oleh ayahnya sendiri, Raja Seongjong.
Peristiwa tragis ini, yang dikenal sebagai Peristiwa Pembersihan Tahun 1479, disembunyikan dari Yi Yung. Ia dibesarkan sebagai putra mahkota tanpa mengetahui identitas ibunya yang sebenarnya atau bagaimana ia meninggal. Ia hanya tahu bahwa ia adalah putra mahkota yang sah. Trauma masa kecil yang tertanam inilah yang kelak akan meledak dengan konsekuensi yang mengerikan.
Awal Pemerintahan: Raja yang Penuh Harapan
Anehnya, awal pemerintahan Yeonsangun justru dipuji oleh para sejarawan. Saat naik takhta pada tahun 1494 di usia 19 tahun, ia menunjukkan potensi sebagai pemimpin yang cakap dan peduli. Beberapa kebijakan awalnya termasuk:
- Reformasi Pendidikan: Memperluas beasiswa untuk siswa dari luar ibu kota dan meningkatkan tunjangan bagi para sarjana di Seonggyungwan (Akademi Nasional).
- Kode Hukum yang Lebih Adil: Menetapkan hukuman yang lebih ringan untuk kejahatan tertentu dan mencoba menyederhanakan proses peradilan.
- Pembangunan Infrastruktur: Memerintahkan pembangunan benteng dan tempat-tempat umum.
Pada fase ini, Yeonsangun tampak seperti penerus yang layak dari ayahnya. Namun, titik baliknya terjadi pada tahun 1504, ketika ia akhirnya mengetahui kebenaran tentang kematian ibunya.
Ledakan Paranoia: Peristiwa Pembersihan Tahun 1504 (Kapja Sahwa)
Kebenaran itu diungkapkan oleh seorang pelayan yang memberinya pakaian berdarah yang dikenakan ibunya saat dieksekusi. Amukan Yeonsangun tidak terelakkan. Trauma masa kecilnya yang lama terpendam meledak menjadi kemarahan yang membara dan keinginan untuk membalas dendam.
Peristiwa yang kemudian terjadi adalah Peristiwa Pembersihan Tahun 1504 (Kapja Sahwa), sebuah pembantaian berdarah terhadap siapa pun yang dianggap terlibat, langsung atau tidak langsung, dalam kematian ibunya. Korban-korbannya termasuk:
- Para pejabat yang masih hidup yang mendukung eksekusi ibunya.
- Selir-selir Raja Seongjong yang diduga memfitnah Ratu Yun.
- Bahkan nenek dari pihak ibu ( nenek ) Raja Seongjong tidak luput dari amukannya.
- Ia memerintahkan untuk menggali kuburan para pesaingnya dan memenggal mayat mereka.
Dari sinilah julukan “raja tirani” mulai melekat. Tindakannya didorong oleh rasa sakit yang mendalam, tetapi dieksekusi dengan kekejaman yang tak terkatakan. Apakah ini tindakan seorang “boneka” ataukah seorang “dalang”? Dalam konteks ini, ia adalah dalang dari balas dendam pribadinya, yang menggunakan kekuasaan absolutnya untuk menyelesaikan trauma masa lalunya.
Kebijakan Kontroversial: Antara Kelaliman dan Pemberontakan Terhadap Sistem
Yeonsangun tidak hanya membalas dendam untuk masa lalu; ia juga memberontak terhadap sistem Konfusianisme yang membunuh ibunya. Kebijakannya berikut ini menunjukkan penolakan terhadap establishment.
- Pembubaran Kabinet dan Kantor Cendekiawan (Samsa):
Yeonsangun membenci para sarjana dan pejabat yang selalu menasihatinya dan mengkritik tindakannya. Sebagai bentuk protes, ia membubarkan Hongmungwan (Lembawan Ilmuwan Terhormat), yang berfungsi sebagai penasihat raja dan perpustakaan kerajaan. Ia mengusir semua sarjana dan mengubah gedungnya menjadi kandang kuda dan tempat hiburan pribadi. - Pendirian “Kabinet Hitam” (Heungcheondae):
Sebagai pengganti institusi resmi, ia membentuk badan militer pribadi yang disebut Heungcheondae. Kelompok inilah yang menjadi alat utamanya untuk memata-matai, menangkap, dan menyiksa siapa pun yang menentangnya. Di sini, kita melihatnya sebagai dalang yang menciptakan mesin terornya sendiri. - Penyitaan Tanah dan Pembangunan Taman Wonlegwan:
Yeonsangun menyita tanah milik rakyat dan ribuan rumah di ibu kota untuk membangun taman hiburan raksasa yang disebut Wonlegwan. Di dalamnya, ia mengadakan pesta pora dan permainan yang mewah dan tidak senonoh, sering kali melibatkan para wanita dari keluarga bangsawan, yang dipaksa menghibur dirinya dan para penjaganya. Tindakan ini bukan hanya tindakan tirani, tetapi juga penghinaan langsung terhadap nilai-nilai Konfusianisme tentang kesederhanaan dan moralitas. - Pelarangan Hunminjeongeum:
Dalam salah satu tindakannya yang paling ironis, Yeonsangun justru melarang pengajaran dan penggunaan Hunminjeongeum, aksara Korea yang diciptakan oleh ayahnya, Raja Seojong yang Agung. Ia melihatnya sebagai ancaman karena memungkinkan rakyat jelata membaca dan menulis, sehingga berpotensi mengkritik pemerintahannya. Ini adalah tindakan dalang yang ingin mengendalikan segala informasi dan wacana.
Raja Boneka? Peran Faksi Politik
Di balik semua tindakannya, apakah Yeonsangun benar-benar bertindak sendiri? Istana Joseon adalah sarang intrik faksi politik. Beberapa sejarawan berargumen bahwa pada awal pemerintahannya, faksi tertentu (seperti faksi Sarim yang kemudian menjadi korban) mungkin telah memanipulasinya untuk menghancurkan faksi saingan dengan memberitahunya tentang kematian ibunya.
Jika dilihat dari sudut ini, pada awalnya ia bisa jadi adalah boneka yang dimanipulasi oleh kekuatan politik yang pandai. Namun, setelah kebenaran terungkap, ia berubah menjadi dalang yang tidak terkendali, yang justru membalikkan keadaan dan meneror semua faksi tanpa pandang bulu. Alat yang diciptakan untuk memanfaatkannya justru berbalik menghancurkan mereka yang mencoba memanfaatkannya.
Akhir yang Tidak Terelakkan: Kudeta dan Pengasingan
Kekejaman dan kelaliman Yeonsangun akhirnya mencapai puncaknya. Para pejabat, yang hidup dalam ketakutan terus-menerus, menyadari bahwa kelangsungan hidup dinasti itu sendiri sedang dipertaruhkan. Pada tahun 1506, sekelompok pejabat tinggi dan cendekiawan melakukan kudeta.
Yeonsangun diturunkan dari takhta dan diasingkan ke Pulau Ganghwa. Ia digantikan oleh adik tirinya, yang menjadi Raja Jungjong. Para pemberontak mengeluarkan maklumat yang mencantumkan 1.800 kejahatan yang dilakukan Yeonsangun selama berkuasa, sebuah daftar yang menjamin statusnya sebagai tirani dalam catatan sejarah resmi. Ia meninggal dalam pengasingan dua bulan kemudian.
Kesimpulan: Dalang dari Tragedi Pribadinya Sendiri
Jadi, apakah Yeonsangun seorang boneka atau seorang dalang?
Jawabannya tidak hitam putih. Ia mungkin dimulai sebagai boneka dalam permainan faksi istana, yang dimanipulasi oleh informasi yang sengaja dibocorkan untuk memicu pembalasan dendamnya. Namun, setelah itu, ia dengan cepat berevolusi menjadi sang dalang sepenuhnya.
Yeonsangun bukanlah orang yang bodoh atau lemah. Ia menggunakan kekuasaan absolutnya dengan sengaja dan kreatif untuk membalas dendam, memberontak terhadap sistem yang meninduhnya, dan menciptakan mekanisme teror (seperti Heungcheondae) untuk mempertahankan kekuasaannya. Tragedinya adalah bahwa dalang ini adalah korban dari skenario yang sama yang ia mainkan. Trauma masa kecilnya yang tidak terselesaikan adalah dalang dari semua tindakannya, menggerakkannya seperti boneka untuk menciptakan kekacauan yang akhirnya menelannya sendiri.
Warisan Yeonsangun adalah peringatan abadi tentang bahaya kekuasaan absolut yang dipadukan dengan luka psikologis yang dalam. Ia adalah contoh kompleks bagaimana seorang korban bisa berubah menjadi victimizer, dan bagaimana seorang raja yang penuh harapan bisa menjadi dalang dari kehancurannya sendiri.