Istilah “Krismon 1998” atau Krisis Moneter 1998 bukan sekadar kenangan pahit dalam buku sejarah Indonesia. Peristiwa ini adalah sebuah titik balik dramatis yang meruntuhkan fondasi ekonomi, memicu gejolak sosial-politik hebat, dan pada akhirnya mengakhiri rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Krisis ini ibarat badai sempurna yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa.

Lantas, apa sebenarnya yang terjadi di balik tragedi Krismon 1998? Bagaimana sebuah krisis keuangan di Thailand bisa berubah menjadi malapetaka nasional yang begitu dahsyat? Artikel ini akan menelusuri akar permasalahan, kronologi, dan dampak mendalam yang masih terasa hingga kini.
Akar Permasalahan: Fondasi Ekonomi yang Rapuh di Balik Kemilau Pertumbuhan
Sebelum krismon melanda, Indonesia dipandang sebagai “Macan Asia” dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan tinggi. Namun, di balik kemilau itu, tersembunyi beberapa kelemahan struktural yang fatal:
- Ketergantungan pada Modal Asing Jangka Pendek: Pemerintah dan swasta banyak meminjam dana dalam bentuk utang luar negeri jangka pendek (hot money) untuk membiayai proyek-proyek megah dan spekulatif. Aliran dana ini mudah masuk, tetapi juga sangat mudah melarikan diri.
- Sistem Perbankan yang Tidak Sehat: Banyak bank yang melakukan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Pemberian kredit seringkali didasarkan pada kedekatan dengan kekuasaan, bukan kelayakan usaha, menciptakan gelembung utang yang berbahaya.
- Nilai Tukar Rupiah yang Dikendalikan (Managed Floating): Kebijakan ini membuat nilai rupiah terkesan stabil, padahal sebenarnya overvalued (terlalu tinggi). Hal ini membuat ekspor tidak kompetitif dan mendorong impor yang boros.
- Defisit Transaksi Berjalan yang Tinggi: Nilai impor Indonesia jauh lebih besar daripada ekspor, membuat neraca perdagangan defisit dan sangat bergantung pada arus modal asing untuk menutupinya.
Kronologi Krismon 1998: Dari Thailand ke Indonesia
Badai dimulai dari Thailand. Pada Juli 1997, Bank Thailand terpaksa mengambangkan mata uang Baht setelah kehabisan cadangan devisa untuk mempertahankannya. Hal ini memicu sentimen negatif dan kepanikan di kalangan investor internasional terhadap seluruh ekonomi Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Gelombang serangan spekulatif pun beralih ke Rupiah. Bank Indonesia awalnya berusaha mempertahankan nilai rupiah dengan melakukan intervensi di pasar valas, namun cadangan devisa yang terbatas tidak mampu menahan gempuran. Pada 14 Agustus 1997, Indonesia terpaksa melepas sistem managed floating dan mengambangkan nilai rupiah secara bebas.
Inilah awal bencana. Nilai rupiah terjun bebas dari sekitar Rp 2,500 per dolar AS menjadi menyentuh puncaknya di atas Rp 16,000 per dolar AS pada Juni 1998. Runtuhnya nilai tukar ini bagai domino yang menjatuhkan seluruh sektor ekonomi.
Dampak Krismon 1998: Bukan Hanya Sekadar Krisis Ekonomi
Dampak Krismon 1998 bersifat multidimensi dan menyentuh hampir semua aspek kehidupan.
1. Dampak Ekonomi Langsung
- Kebangkrutan Perusahaan: Beban utang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta membengkak drastis karena rupiah melemah. Ribuan perusahaan kolaps dan gulung tikar.
- Krisis Perbankan: Sistem perbankan nasional kolaps akibat kredit macet (non-performing loan) yang meroket. Bank Indonesia harus menutup 16 bank pada November 1997, yang justru memicu rush (penarikan dana masal) oleh nasabah.
- Inflasi dan Kemiskinan Melonjak: Harga-harga barang kebutuhan pokok melambung tinggi akibat inflasi yang mencapai 77% di tahun 1998. Daya beli masyarakat runtuh, dan jumlah penduduk miskin bertambah secara signifikan.
2. Dampak Sosial dan Politik: Puncak Gunung Es
Dampak ekonomi yang parah ini memicu ketegangan sosial yang telah lama tertimbun. Inilah fase paling kelam dari Tragedi Krismon 1998.
- Kerusuhan Mei 1998: Aksi demonstrasi mahasiswa yang menuntut reformasi (Reformasi) berujung pada kerusuhan massal pada 12-15 Mei 1998, terutama di Jakarta, Medan, dan Solo. Kerusuhan ini ditandai dengan penjarahan, pembakaran, dan yang paling tragis adalah kekerasan etnis, terutama terhadap warga keturunan Tionghoa.
- Tragedi Trisakti: Peristiwa penembakan terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 menjadi pemicu langsung dan pemicu moral bagi gelombang demonstrasi besar-besaran.
- Lengsernya Soeharto: Tekanan dari dalam dan luar negeri memuncak. Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya, mengakhiri era Orde Baru dan membuka babak baru yaitu Era Reformasi.
Pelajaran dari Krismon 1998
Tragedi Krismon 1998 meninggalkan jejak dan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia:
- Pentingnya Fundamental Ekonomi yang Kuat: Ketergantungan pada utang asing jangka pendek dan sistem perbankan yang lemah adalah resep menuju bencana.
- Transparansi dan Tata Kelola yang Baik: Praktik KKN harus dihilangkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan berkeadilan.
- Sistem Nilai Tukar yang Wajar: Nilai tukar harus mencerminkan kondisi riil ekonomi untuk menghindari ketidakseimbangan.
- Ketahanan Sosial: Sebuah bangsa harus membangun ketahanan sosial untuk mencegah konflik horizontal di saat krisis.
Jejak Krismon 1998 di Indonesia Modern
Pasca-krisis, Indonesia melakukan serangkaian reformasi besar-besaran. Dibentuknya lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta diberlakukannya UU Otonomi Daerah, adalah sebagian upaya untuk memperbaiki tata kelola negara. Bank Indonesia juga menjadi lebih independen dalam mengelola kebijakan moneter. Meski telah pulih, memori Krismon 1998 tetap menjadi pengingat yang kuat tentang betapa rapuhnya sebuah bangsa jika fondasi ekonominya dibangun di atas pasir.
Dengan memahami sejarah kelam ini, diharapkan bangsa Indonesia dapat terus membangun sistem ekonomi dan politik yang lebih resilien, adil, dan berkelanjutan untuk menghadapi ketidakpastian di masa depan.