Presiden pertama Indonesia, Soekarno, adalah sebuah fenomena. Dengan karisma membara dan pidato-pidatonya yang membangkitkan semangat, ia tidak hanya memimpin perjuangan kemerdekaan bangsa tetapi juga menempatkan Indonesia di panggung dunia. Ia menjadi juru bicara bagi negara-negara “baru” yang lepas dari belenggu kolonialisme, mendirikan Gerakan Non-Blok bersama Nehru (India), Nasser (Mesir), dan Tito (Yugoslavia). Namun, kekuasaannya yang berlangsung hampir dua dekade berakhir dengan tragis pada tahun 1966-1967. Penjatuhannya dari tampuk kekuasaan bukanlah peristiwa sederhana. Ini adalah titik pertemuan rumit antara gejolak politik domestik dan agenda dunia yang lebih besar, di mana kepentingan kekuatan global berperan signifikan.

Konstelasi Politik Global Pasca-Perang Dunia II
Untuk memahami mengapa Soekarno menjadi “target”, kita harus melihat peta politik dunia era 1950-1960an. Dunia terbelah oleh Perang Dingin, pertarungan ideologi antara Blok Barat (dipimpin Amerika Serikat) dan Blok Timur (dipimpin Uni Soviet). Dalam konteks ini, kebijakan luar negeri Soekarno yang non-blok dan seringkali condong ke kiri dianggap sebagai ancaman oleh AS dan sekutunya.
Soekarno aktif mempromosikan NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) sebagai fondasi negara, yang memberikan ruang besar bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk tumbuh. Bagi Washington, Indonesia yang kaya sumber daya alam jatuh ke pengaruh komunis adalah mimpi buruk terbesar, sebuah “domino” yang tidak boleh jatuh di Asia Tenggara.
Kebijakan Soekarno yang Berseberangan dengan Kepentingan Barat
Bung Karno bukanlah boneka yang mudah dikendalikan. Beberapa kebijakannya langsung menantang hegemoni Barat:
- Konfrontasi dengan Malaysia (1963-1966): Soekarno menolak pembentukan Federasi Malaysia, yang ia anggap sebagai “proyek neo-kolonialisme” Inggris untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan. Konfrontasi ini membuatnya berhadapan langsung dengan Inggris dan, secara tidak langsung, dengan AS.
- Keluar dari PBB (1965): Pada Januari 1965, sebagai bentuk protes atas diterimanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia mengumumkan keluarnya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Langkah yang sangat berani dan kontroversial ini semakin mengisolasi Indonesia di mata dunia Barat dan menunjukkan penolakan Soekarno terhadap tatanan dunia yang dipimpin Barat.
- Kebijakan Ekonomi Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri): Soekarno memprioritaskan industrialisasi dalam negeri dan membatasi investasi asing. Ia juga melakukan nasionalisasi besar-besaran terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda dan lainnya. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan kepentingan ekonomi kapitalis Barat yang menginginkan akses bebas ke sumber daya alam Indonesia.
Peran CIA dan Intervensi Asing
Dokumen-dokumen rahasia AS yang telah dideklasifikasi mengonfirmasi keterlibatan CIA dalam upaya menggulingkan Soekarno. Operasi ini bukan dimulai pada 1965, tetapi sudah berjalan sejak akhir 1950-an.
- Dukungan untuk Pemberontakan Daerah: CIA memberikan dukungan senjata dan dana untuk pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi pada akhir 1950-an, dengan harapan dapat melemahkan pusat kekuasaan Soekarno.
- Propaganda dan Perang Psikologis: CIA mendanai surat kabar dan partai politik oposisi (seperti Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi) untuk menciptakan narasi anti-Soekarno dan anti-PKI di dalam negeri.
- Daftar Target Pembunuhan: Bahkan, terdapat dokumen yang menyebutkan rencana CIA untuk membunuh Soekarno, meskipun rencana ini tidak pernah dieksekusi.
Tujuan AS jelas: mencegah Indonesia jatuh ke tangan komunis dan mengamankan kepentingan geopolitik dan ekonominya di kawasan Asia Tenggara.
Peristiwa G30S 1965: Pemicu dan Dalang yang Diperdebatkan
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 adalah titik balik kritis. Penculikan dan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat ini menciptakan kekacauan dan ketidakstabilan yang sempurna untuk menjatuhkan Soekarno.
- Versi Orde Baru: Selama 32 tahun, versi resmi pemerintah menyatakan bahwa PKI adalah dalang tunggal di balik peristiwa tersebut.
- Versi Sejarawan Revisionis: Banyak sejarawan, seperti Benedict Anderson dan John Roosa, mempertanyakan narasi tunggal itu. Mereka menyoroti kerumitan peristiwa dan kemungkinan adanya provokasi dari faksi lain dalam Angkatan Darat sendiri yang ingin merebut kekuasaan dan menghancurkan PKI.
- Peran AS dan Barat: Meski tidak terlibat langsung dalam peristiwa itu, AS dan sekutunya (terutama Inggris) dikabarkan telah menyediakan daftar nama anggota PKI kepada militer Indonesia pasca-G30S. Dukungan moral dan politis dari Barat kepada Jenderal Soeharto dan Angkatan Darat juga sangat jelas, memberikan “lampu hijau” untuk melakukan pembersihan terhadap PKI dan melemahkan posisi Soekarno.
Transisi Kekuasaan: Dari Soekarno ke Soeharto
Pasca-G30S, Soeharto secara sistematis mengambil alih kendali. Melalui Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966, yang hingga kini kontroversial keaslian dan proses pengambilannya, Soeharto mendapatkan mandat untuk mengamankan situasi. Ia lalu membubarkan PKI dan mulai menahan para pendukung setia Soekarno.
Tekanan terhadap Soekarno semakin besar. Secara domestik, kekuasaannya telah dilemahkan. Secara internasional, ia telah kehilangan dukungan. Pada Maret 1967, MPRS secara resmi melengserkan Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden, mengukuhkan akhir dari sebuah era.
Imbalan bagi Kekuatan Barat: Orde Baru yang Pro-Barat
Naiknya Soeharto ke kekuasaan adalah hasil yang diinginkan oleh Barat. Sebagai gantinya, rezim Orde Baru yang baru segera membalikkan seluruh kebijakan Soekarno:
- Menjadi Pro-Barat: Indonesia keluar dari konfrontasi dengan Malaysia dan kembali menjadi anggota PBB.
- Ekonomi Terbuka untuk Investasi Asing: Soeharto membuka keran investasi asing seluas-luasnya. IMF dan Bank Dunia masuk untuk memberikan pinjaman dan membentuk kebijakan ekonomi Indonesia. Perusahaan-perusahaan minyak dan pertambangan AS dan Eropa mendapatkan akses ke sumber daya alam Indonesia.
- Stabilitas dan Anti-Komunis: Rezim Orde Baru menjamin “stabilitas” yang aman bagi kepentingan Barat dan memastikan bahwa pengaruh komunis tidak akan pernah bangkit lagi di Indonesia.
Kesimpulan: Simpul Kecil dalam Kain Besar Sejarah Dunia
Penjatuhan Soekarno dari kekuasaan adalah sebuah drama tragedi yang alurnya ditulis oleh banyak tangan. Ia adalah korban dari pertarungan ideologi Perang Dingin, di mana seorang pemimpin yang berani menentang arus dianggap sebagai penghalang yang harus disingkirkan. Agenda dunia yang dilakukan oleh kekuatan asing, khususnya AS dan sekutunya, bertemu momennya dengan konflik dan ambisi kekuasaan di dalam negeri.
Peristiwa ini mengajarkan bahwa sejarah sebuah bangsa jarang sekali hanya milik bangsa itu sendiri. Ia selalu terhubung dengan kepentingan dan persaingan global. Soekarno jatuh bukan semata karena kelemahannya, tetapi karena ia berdiri di tengah gelombang besar sejarah dunia dan menolak untuk terbawa arus. Kisahnya menjadi pengingat abadi tentang betapa rumitnya hubungan antara politik domestik dan geopolitik internasional.