Runtuhnya Mataram Konspirasi Asing di Baliknya

Kerajaan Mataram, yang pernah berjaya dan menguasai sebagian besar Pulau Jawa, akhirnya mengalami keruntuhan. Banyak sejarawan menyebutkan bahwa penyebab utama kehancuran Mataram adalah konflik internal, seperti perebutan takhta dan pemberontakan. Namun, ada teori menarik yang menyelidiki kemungkinan adanya konspirasi asing yang turut mempercepat keruntuhan kerajaan besar ini. Apakah benar ada campur tangan kekuatan luar? Artikel ini akan mengupas tuntas faktor-faktor di balik runtuhnya Mataram, menggali peran Belanda (VOC) dan bagaimana intrik serta ekspansi kolonialisme ikut merobohkan pondasi kerajaan.

mataram

Puncak Kejayaan dan Awal Keretakan Mataram

Sebelum membahas keruntuhannya, penting untuk memahami puncak kejayaan Mataram di bawah Sultan Agung (berkuasa 1613-1645). Pada masanya, Mataram hampir menyatukan seluruh Jawa dan berhasil menantang dominasi VOC di Batavia. Namun, setelah wafatnya Sultan Agung, Mataram mulai menunjukkan tanda-tanda kerapuhan. Pemerintahan Amangkurat I (putra Sultan Agung) dikenal keras dan penuh dengan konflik, memicu ketidakpuasan di kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan.

Faktor Internal: Bara dalam Sekam

Faktor internal adalah penyebab paling nyata dari runtuhnya Mataram. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Perebutan Takhta (Succession Wars): Tradisi suksesi di Mataram tidak selalu jelas, seringkali berakhir dengan perang saudara yang melemahkan. Peristiwa seperti Pemberontakan Trunajaya (1674-1680) dan Perang Suksesi Jawa Pertama (1704-1708) serta Kedua (1719-1723) adalah buktinya. Konflik-konflik ini menghabiskan sumber daya, merusak stabilitas politik, dan membuka peluang bagi pihak luar untuk ikut campur.
  2. Kebijakan Raja yang Kontroversial: Kebijakan Amangkurat I yang membantai ulama dan bangsawan di Alun-Alun Plered menciptakan musuh di dalam negeri sendiri. Ketidakpuasan ini dimanfaatkan oleh pemberontak seperti Trunajaya.
  3. Masalah Ekonomi dan Administrasi: Sistem feodal yang ketat dan ketergantungan pada pertanian membuat perekonomian Mataram rentan, terutama ketika terjadi konflik yang mengganggu aktivitas pertanian.

Konspirasi Asing: Benang Merah VOC dalam Keruntuhan Mataram

Di sinilah teori konspirasi asing mulai masuk. Kekuatan asing, dalam hal ini VOC (Belanda), tidak hanya menjadi penonton. Mereka aktif memanfaatkan kelemahan internal Mataram untuk kepentingannya sendiri. Berikut adalah bukti-bukti keterlibatan mereka:

  1. Strategi “Divide et Impera” (Pecah Belah): VOC mahir dalam memainkan politik adu domba. Mereka memberikan dukungan militer dan finansial kepada salah satu pihak yang bertikai dalam perang suksesi, dengan imbalan konsesi politik dan wilayah. Misalnya, dalam Perang Suksesi Jawa Pertama, VOC mendukung Pangeran Puger (kelak menjadi Pakubuwana I) melawan Amangkurat III. Sebagai imbalannya, Mataram harus menandatangani perjanjian yang semakin membatasi kedaulatannya.
  2. Eksploitasi Konflik Trunajaya: Saat Trunajaya memberontak dan hampir meruntuhkan Mataram, Amangkurat II (putra Amangkurat I) meminta bantuan VOC. VOC bersedia membantu, tetapi dengan harga yang sangat mahal. Perjanjian 1705 memaksa Mataram menyerahkan wilayah pesisir seperti Priangan, Cirebon, dan Semarang kepada VOC. Bantuan VOC ini bukan untuk menyelamatkan Mataram, tetapi untuk memperlemahnya secara sistematis.
  3. Pengontrolan Ekonomi melalui Perjanjian: Melalui berbagai perjanjian, VOC secara perlahan mencengkeram perekonomian Mataram. Mereka memonopoli perdagangan komoditas ekspor seperti gula, kayu, dan beras. Hilangnya wilayah pesisir juga berarti hilangnya akses Mataram ke pelabuhan dan perdagangan maritim, yang merupakan urat nadi perekonomian.
  4. Pembentukan Kekuatan Tandingan: Dukungan VOC kepada para pangeran yang bersedia bekerja sama menciptakan penguasa-penguasa boneka. Penguasa ini lebih memprioritaskan kepentingan VOC daripada kedaulatan Mataram. Hal ini melemahkan otoritas pusat kerajaan dari dalam.

Peristiwa Penting Menuju Keruntuhan Akhir

Kombinasi mematikan antara konflik internal dan campur tangan asing ini akhirnya mencapai puncaknya. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 adalah pukulan final yang secara resmi membagi Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian ini didalangi dan difasilitasi oleh VOC untuk mengakhiri Perang Suksesi Jawa Ketiga. Dengan dipecahnya Mataram, kekuatannya menjadi terfragmentasi dan VOC menjadi kekuatan penengah yang paling diuntungkan. Perjanjian Salatiga (1757) semakin memperkuat pembagian ini dengan menciptakan Kadipaten Mangkunegaran.

Kesimpulan: Runtuhnya Mataram, Sebuah Skema yang Terencana?

Jadi, benarkah ada konspirasi asing di balik runtuhnya Mataram? Jawabannya adalah kompleks. Faktor internal seperti perang saudara adalah bara yang membakar kerajaan dari dalam. Namun, VOC sebagai kekuatan asing berperan sebagai “peniup api” yang memperbesar kobaran api tersebut. Mereka secara sistematis dan cerdik memanfaatkan setiap konflik untuk memperlemah Mataram, merebut wilayahnya, dan mengontrol ekonominya.

Keruntuhan Mataram bukanlah peristiwa yang terjadi dalam satu malam, melainkan proses panjang pelumpuhan yang dilakukan melalui kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi. Dengan demikian, teori konspirasi asing bukanlah sekadar teori tanpa dasar, melainkan sebuah analisis sejarah yang menunjukkan bagaimana kolonialisme bekerja dengan memanfaatkan kelemahan internal suatu bangsa untuk mencapai tujuannya. Pelajaran dari runtuhnya Mataram ini tetap relevan hingga hari ini sebagai peringatan akan pentingnya persatuan dan kewaspadaan terhadap intervensi asing yang dapat mengancam kedaulatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *