Selama puncak kejayaannya (2014-2017), ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) bukan hanya dikenal karena kekejamannya, tetapi juga karena mesin propaganda yang canggih dan mematikan. Melalui video, majalah, dan postingan media sosial, mereka menyebarkan narasi yang dirancang untuk merekrut pengikut, mengintimidasi musuh, dan membangun citra sebagai “negara” yang sah.

Sayangnya, banyak dari narasi ini yang diterima secara salah kaprah oleh khalayak, baik yang simpatisan maupun masyarakat umum. Memahami dan membongkar mitos-mitos ini adalah langkah kritis untuk melawan radikalisme dan mencegah penyebaran paham ekstrem.
Mitos 1: ISIS Adalah Perwujudan “Khilafah” yang Sah
Ini adalah klaim inti dari propaganda ISIS. Mereka mendeklarasikan diri sebagai “Khilafah Islamiyah” dan memimpin semua Muslim di dunia.
Faktanya:
- Ditolak oleh Mayoritas Ulama: Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari berbagai belahan dunia, termasuk ulama terkemuka Timur Tengah, secara bulat menolak klaim khilafah ISIS. Mereka menegaskan bahwa pendirian khilafah membutuhkan konsensus (ijma’) umat Islam, bukan deklarasi sepihak oleh kelompok bersenjata.
- Tidak Memenuhi Syarat Negara: Sebuah khilafah seharusnya menciptakan keamanan, keadilan, dan kesejahteraan. Wilayah yang dikuasai ISIS justru dipenuhi dengan kekacauan, hukuman mati tanpa pengadilan yang adil, kelaparan, dan ketakutan.
- Fokus pada Kekerasan: ISIS lebih banyak menghabiskan sumber dayanya untuk perang dan eksekusi daripada membangun institusi pendidikan, kesehatan, atau sosial layaknya sebuah negara.
Mitos 2: Kekejaman ISIS Mencerminkan Ajaran Islam yang Sejati
Propaganda ISIS sengaja menampilkan adegan-adegan kekejaman seperti pemenggalan kepala dan pembakaran hidup-hidup untuk menebar teror. Mereka membungkusnya dengan narasi “pembalasan” dan “penegakan hukum Allah”.
Faktanya:
- Penyimpangan dari Ajaran Islam: Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kasih sayang. Al-Qur’an dan Hadits dengan tegas melarang pembunuhan terhadap warga sipil, penyanderaan, penyiksaan, dan perusakan tempat ibadah.
- Alat Propaganda Semata: Kekejaman tersebut adalah alat strategis untuk mendapatkan perhatian media global, menakut-nakuti lawan, dan menarik individu-individu yang mudah terpengaruh oleh kekerasan dan sensasi. Mereka membajak simbol-simbol Islam untuk memberi legitimasi pada tindakan biadab mereka.
Mitos 3: Semua Pejuang ISIS Adalah “Mujahid” yang Ikhlas
Narasi ISIS menggambarkan para pejuangnya sebagai pahlawan suci yang berjuang semata-mata untuk menegakkan agama.
Faktanya:
- Beragam Motivasi: Banyak yang bergabung dengan ISIS karena motivasi non-ideologis, seperti:
- Krisis Identitas: Pencarian jati diri, terutama di kalangan pemuda.
- Faktor Ekonomi: Janji mendapatkan gaji dan kehidupan yang lebih baik.
- Balas Dendam: Terhadap pemerintah atau kelompok lain.
- Tekanan Sosial: Ikut-ikutan teman atau keluarga.
- Psikopatologi: Ketertarikan pada kekerasan dan kekuasaan.
- Korban Pencucian Otak: Banyak rekruit, terutama dari luar Timur Tengah, yang menjadi korban pencucian otak melalui propaganda ISIS yang intensif dan terarah di ruang gema (echo chambers) online.
Mitos 4: Propaganda ISIS Hanya Menargetkan Orang-Orang Bodoh atau Gila
Menganggap bahwa hanya orang yang kurang pendidikan atau memiliki gangguan jiwa yang bisa tertarik pada ISIS adalah kesalahan besar.
Faktanya:
- Menargetkan Semua Kalangan:Propaganda ISIS dirancang sangat canggih dan multi-target. Mereka memiliki materi yang berbeda untuk menarik berbagai profil:
- Para Intelektual: Dengan doktrin teologi yang dipelintir dan narasi perlawanan terhadap Barat.
- Kaum Perempuan: Dengan janji kehidupan yang “sah” dan mulia sebagai istri pejuang.
- Para Pemuda yang Idealis: Dengan narasi membangun masyarakat “ideal” dari nol (utopia).
- Eksploitasi Kerentanan: Mereka bukan membodohi, tapi mengeksploitasi kerentanan emosional dan intelektual seseorang, seperti rasa ketidakadilan, kebanggaan identitas yang terluka, atau pencarian makna hidup.
Mitos 5: ISIS Sudah Hilang dan Tidak Lagi Berbahaya
Meski wilayah fisiknya telah direbut, menyatakan ISIS sudah tidak berbahaya adalah sikap yang keliru.
Faktanya:
- Beralih ke Gerilya dan Sel-Sel Tidur: ISIS telah bertransformasi dari entitas teritorial menjadi organisasi gerilya dengan sel-sel tidur yang tersebar di berbagai negara, termasuk Asia Tenggara.
- Propaganda Digital Tetap Aktif: Mesin propaganda ISIS di dunia maya masih berjalan, meski lebih tersembunyi. Mereka menggunakan platform yang lebih tertutup (seperti Telegram) untuk terus merekrut, mengumpulkan dana, dan menginspirasi serangan “lone-wolf”.
- Ideologi Masih Beredar: Ideologi ekstrem mereka masih hidup dan dapat menginspirasi generasi baru jika akar masalah, seperti ketidakadilan global dan konflik politik, tidak diselesaikan.
Kesimpulan: Melawan dengan Pengetahuan dan Kontra-Narasi
Membongkar mitos dan salah kaprah seputar propaganda ISIS adalah senjata terampuh untuk melawan radikalisme. Pemahaman yang benar memungkinkan kita untuk:
- Tidak Terintimidasi: Memahami bahwa kekejaman mereka adalah alat psikologis, bukan kekuatan yang sesungguhnya.
- Membentengi Diri dan Keluarga: Dengan pengetahuan yang benar tentang agama, kita tidak mudah terpengaruh oleh doktrin yang dipelintir.
- Membangun Kontra-Narasi: Masyarakat sipil, pemerintah, dan lembaga keagamaan harus aktif menyebarkan narasi alternatif tentang perdamaian, toleransi, dan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Dengan mengikis fondasi mitos yang dibangun oleh ISIS, kita bukan hanya melucuti senjata propaganda mereka, tetapi juga membangun ketahanan masyarakat yang lebih kuat terhadap ancaman paham radikal di masa depan.