Julius Robert Oppenheimer, “bapak bom atom”, adalah sosok yang kompleks. Di balik kecerdasannya yang brilian dalam memimpin Proyek Manhattan, terselubung sisi spiritual dan filosofis yang dalam. Momen puncaknya adalah saat uji coba pertama bom atom, yang dijuluki “Ledakan Trinity”, pada 16 Juli 1945 di gurun New Mexico. Saat bola api raksasa membumbung ke langit, sebuah kutipan dari kitab suci Hindu, Bhagavad Gita, terucap dari bibirnya, melahirkan misteri ritual Oppenheimer yang masih diperbincangkan hingga kini.

Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah Oppenheimer melakukan semacam ritual? Artikel ini akan mengupas tuntas sisi spiritual sang ilmuwan dan momen bersejarah yang mengubah dunia itu.
Siapa Oppenheimer Sebenarnya: Ilmuwan dan Pecinta Filsafat Timur
Sebelum memimpin Proyek Manhattan, Oppenheimer telah akrab dengan dunia filsafat dan sastra Timur. Minatnya pada bahasa Sanskerta dan teks-teks kuno India, terutama Bhagavad Gita, bukanlah rahasia. Ia membaca kitab tersebut dalam bahasa aslinya dan kerap menyebutnya sebagai salah satu buku yang paling mempengaruhi hidupnya.
Bagi Oppenheimer, Bhagavad Gita bukan sekadar teks agama, melainkan sebuah karya filsafat yang dalam tentang kewajiban, moralitas, dan sifat alam semesta. Pemahaman inilah yang menjadi landasan bagi reaksinya saat menyaksikan kekuatan dahsyat yang ia ciptakan.
Ledakan Trinity: Puncak Prestasi atau Awal Malapetaka?
Ledakan Trinity merupakan sebuah pencapaian ilmiah yang monumental. Bom plutonium yang diledakkan menghasilkan energi setara dengan sekitar 20 kiloton TNT, menerangi gurun dengan cahaya yang lebih terang dari matahari. Kesuksesan ini membuka jalan untuk penggunaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, yang secara efektif mengakhiri Perang Dunia II.
Namun, bagi banyak ilmuwan yang terlibat, termasuk Oppenheimer, momen itu juga diwarnai dengan perasaan cemas, takjub, dan rasa bersalah yang mendalam. Mereka menyadari bahwa mereka telah membuka “kotak Pandora” yang dapat menghancurkan peradaban.
Kutipan Bhagavad Gita: “Aku Menjadi Kematian, Penghancur Dunia”
Saat menyaksikan Ledakan Trinity, Oppenheimer mengutip ayat dari Bhagavad Gita (Bab 11, Ayat 32):
“Kini aku menjadi Kematian, penghancur dunia.” (Kala ami, samsara sanghara)
Kutipan ini sering disalahartikan sebagai bagian dari sebuah “ritual”. Dalam konteks aslinya, kata-kata itu diucapkan oleh Dewa Krishna ketika menampakkan wujud kosmisnya (Vishvarupa) yang mengerikan kepada pangeran Arjuna. Wujud tersebut mewakili kekuatan mutlak dari sang pencipta sekaligus sang penghancur.
Bagi Oppenheimer, kutipan itu adalah refleksi sempurna dari perasaannya. Ia dan tim ilmuwan telah memegang kekuatan yang sebelumnya hanya dimiliki oleh dewa-dewa—kekuatan untuk menciptakan dan sekaligus menghancurkan. Ia merasa seperti Arjuna yang menyaksikan wujud sejati alam semesta: mengerikan, menakutkan, namun tak terelakkan.
Misteri “Ritual” Oppenheimer: Antara Fakta dan Rekayasa
Istilah “ritual Oppenheimer” bisa menyesatkan. Oppenheimer tidak melakukan tarian atau upacara pagan di lokasi Ledakan Trinity. “Ritual” yang dimaksud adalah momen kontemplasi pribadi yang sangat dalam, di mana ia menghubungkan pencapaian ilmiahnya dengan kebijaksanaan kuno yang ia pelajari.
Beberapa saksi, termasuk saudaranya Frank Oppenheimer, mengonfirmasi bahwa kutipan itu diucapkan oleh Oppenheimer pada hari itu. Momen itu begitu kuat dan simbolis sehingga terasa seperti sebuah “ritual” peralihan—sebuah titik di mana ilmu pengetahuan modern bertemu dengan nasib umat manusia yang abadi.
Warisan Oppenheimer: Trauma dan Peringatan Abadi
Pasca Ledakan Trinity dan penggunaan bom di Jepang, Oppenheimer diliputi rasa trauma. Ia menjadi advokat vokal untuk pengendalian senjata nuklir dan menentang pengembangan bom hidrogen. Perubahan sikapnya ini membuatnya berkonflik dengan pemerintah AS dan menyebabkan pencabutan izin keamanannya.
Kutipan Bhagavad Gitanya dan misteri ritual Oppenheimer yang melingkupinya tetap menjadi simbol abadi dari dilema moral para ilmuwan. Ia mengingatkan kita bahwa di balik setiap terobosan teknologi yang hebat, terdapat tanggung jawab etika yang sama besarnya.
Kesimpulan
Misteri ritual Oppenheimer dan Ledakan Trinity adalah dua hal yang tak terpisahkan. “Ritual” tersebut bukanlah sebuah upacara, melainkan sebuah momen refleksi spiritual yang mendalam dari seorang ilmuwan jenius yang menyadari dahsyatnya ciptaannya. Kutipan dari Bhagavad Gita bukanlah mantra, tetapi sebuah pengakuan yang puitis dan tragis tentang tanggung jawab atas kekuatan yang mampu menghancurkan dunia.
Kisah ini menjadi pelajaran abadi tentang ambiguitas kemajuan ilmu pengetahuan dan kebutuhan akan kebijaksanaan yang setara dengan kecerdasan kita.