Thailand, “Negeri Gajah Putih”, telah lama menjadi pusat ketegangan politik yang berulang. Siklus kudeta militer yang seolah tak pernah berakhir memunculkan berbagai teori konspirasi. Salah satu pertanyaan paling menggugah yang sering muncul adalah: apakah kudeta-kudeta di Thailand benar-benar murni urusan dalam negeri, ataukah didalangi oleh kekuatan asing untuk melindungi kepentingan geopolitik dan ekonominya?

Artikel ini akan mengupas tuntas narasi tersebut, menganalisis motif di baliknya, dan melihat bukti-bukti sejarah yang mengaitkan intervensi asing dengan instabilitas politik Thailand.
Pemandangan Politik Thailand: Arena Perebutan Pengaruh
Untuk memahami mengapa Thailand menjadi ajang yang rentan, kita harus melihat posisi strategisnya:
- Jantung Asia Tenggara: Thailand adalah penghubung utama antara daratan Asia Tenggara dan semenanjung Melayu.
- Sekutu Penting AS: Thailand memiliki status Major Non-NATO Ally dan memiliki hubungan militer yang lama dengan Amerika Serikat.
- Kedekatan dengan Tiongkok: Dalam beberapa dekade terakhir, Tiongkok telah menjadi mitra dagang dan investor terbesar Thailand, terutama dalam proyek infrastruktur raksasa seperti Eastern Economic Corridor (EEC).
- Stabilitas Regional: Ketidakstabilan di Thailand dapat mempengaruhi seluruh kawasan ASEAN, mengganggu rantai pasok dan keamanan.
Posisi inilah yang membuat Thailand tidak pernah lepas dari pengawasan kekuatan global.
Kudeta 2014: Sebuah Studi Kasus yang Penuh Teori
Kudeta militer yang dipimpin Jenderal Prayut Chan-o-cha pada tahun 2014 menjadi pemicu utama teori campur tangan asing. Saat itu, dunia internasional bereaksi beragam.
- Amerika Serikat: Secara resmi, AS mengutuk kudeta dan menunda bantuan militer senilai $4,7 juta. Namun, kritik ini dianggap banyak pengamat sebagai “tindakan simbolis”. Hubungan militer deep-state antara kedua negara telah terjalin puluhan tahun. AS memiliki kepentingan besar dalam menjaga akses ke pangkalan udara dan laut Thailand serta memastikan negara tersebut tidak sepenuhnya jatuh ke dalam pengaruh Tiongkok. Teori menyebutkan bahwa militer Thailand, yang pro-AS, mengambil alih kekuasaan untuk mencegah pemerintahan sipil yang dianggap terlalu akomodatif terhadap kepentingan Tiongkok.
- Tiongkok: Berbeda dengan Barat, Tiongkok justru bersikap “menghargai” dan “memahami” situasi di Thailand. Beijing dengan cepat menjalin hubungan baik dengan junta militer. Banyak yang melihat ini sebagai strategi Tiongkok untuk memperdalam pengaruhnya di kawasan, mengisolasi lebih lanjut AS, dan mengamankan proyek-proyek Belt and Road Initiative (BRI)-nya. Tiongkok tidak peduli dengan demokrasi; yang mereka pedulikan adalah stabilitas untuk kepentingan investasi.
Motif dan Kepentingan Asing yang Diperdebatkan
Jika ada campur tangan asing, baik langsung maupun tidak langsung, motifnya dapat dirangkum sebagai berikut:
- Kontrol atas Jalur Perdagangan: Thailand adalah pintu gerbang strategis ke Selat Malaka, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Kekuatan mana pun yang memiliki pengaruh di Bangkok dapat mengamankan kepentingan ekonominya.
- Perebutan Pengaruh AS vs. Tiongkok: Thailand adalah battleground dalam perang dagang dan pengaruh antara dua adidaya ini. Kudeta bisa menjadi alat untuk menggeser keseimbangan kekuatan. AS mendukung nilai-nilai demokrasi (meski sering berkompromi dengan junta), sementara Tiongkok mendukung stabilitas otoriter.
- Kepentingan Ekonomi dan Investasi: Kelompok bisnis besar dan korporasi multinasional memiliki investasi miliaran dolar di Thailand. Sebuah kudeta yang “mengamankan” situasi dan melindungi kepentingan ekonomi mereka dari kebijakan populis sebuah pemerintahan terpilih bisa saja dianggap menguntungkan.
- Akses Militer dan Intelijen: Thailand adalah mitra intelijen yang penting di kawasan. Negara-negara besar memiliki kepentingan untuk memastikan bahwa pemerintah yang berkuasa bersahabat dengan mereka dan mau berbagi informasi.
Bukti atau Hanya Teori Konspirasi?
Penting untuk dicatat bahwa tidak ada bukti langsung dan terbuka bahwa sebuah negara asing secara aktif merencanakan dan mendanai kudeta di Thailand. Militer Thailand memiliki motif dan kapasitasnya sendiri untuk merebut kekuasaan, yang seringkali mereka justify dengan alasan “menjaga perdamaian dan ketertiban” dari kekacauan politik.
Namun, yang terjadi lebih pada dukungan implisit dan eksploitasi situasi. Sebuah kekuatan asing tidak perlu mendalangi kudeta; mereka hanya perlu memastikan bahwa kelompok yang keluar sebagai pemenang adalah kelompok yang paling menguntungkan bagi mereka. Dukungan diplomatik, pencairan investasi, atau penjualan senjata pasca-kudeta adalah bentuk “reward” yang jelas.
Kesimpulan: Realitas yang Lebih Nuansa
Klaim bahwa kudeta Thailand didalangi oleh asing adalah simplifikasi yang berlebihan. Akar masalahnya tetap pada polarisasi politik dalam negeri yang dalam antara “Kaus Merah” (populis, pedesaan, pro-Thaksin) dan “Kaus Kuning” (elit tradisional, militer, monarkis).
Namun, mustahil untuk mengabaikan bahwa kekuatan global memainkan peran signifikan dalam memanfaatkan dan memperburuk perpecahan ini untuk kepentingan mereka sendiri. Thailand terjebak dalam permainan catur geopolitik antara AS dan Tiongkok. Kudeta militer, meskipun berasal dari dinamika internal, seringkali disambut secara berbeda oleh kekuatan asing tersebut, yang kemudian memberikan legitimasi dan dukungan kepada pihak yang paling sesuai dengan agenda geopolitik mereka.
Jadi, alih-alih “didalangi”, frasa yang lebih tepat mungkin adalah “diizinkan, disambut, dan dimanfaatkan” oleh kepentingan asing untuk menjaga hegemoni dan pengaruh mereka di jantung Asia Tenggara.
Kata Kunci yang Tersirat: Geopolitik, Kepentingan Asing, Amerika Serikat, Tiongkok, Pengaruh Global, ASEAN, Junta Militer, Theory Konspirasi, Instabilitas Politik, Eastern Economic Corridor, Belt and Road Initiative.