Kerajaan Majapahit kerap digambarkan sebagai kemaharajaan terbesar yang pernah mempersatukan Nusantara. Puncak kejayaannya di bawah Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya menjadi legenda. Namun, di balik kegemilangannya, terselip pertanyaan besar: Siapa sebenarnya dalang di balik keruntuhan Majapahit?

Banyak yang secara keliru menyimpulkan bahwa keruntuhan ini hanya disebabkan oleh serangan Kerajaan Demak. Faktanya, keruntuhan Majapahit adalah sebuah proses panjang dan kompleks yang melibatkan banyak “dalang” dari dalam dan luar istana. Mari kita telusuri faktor-faktor utamanya.
1. Dalang dari Dalam: Konflik Perebutan Takhta yang Tiada Henti
Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada 1389, Majapahit memasuki era suram. Perebutan kekuasaan menjadi “dalang” utama yang melemahkan fondasi kerajaan dari dalam.
- Perang Paregreg (1404-1406): Konflik saudara antara Wikramawardhana (suami Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk) melawan Bhre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk dari selir). Perang ini bukan hanya menghabiskan sumber daya tetapi juga membuka luka politik yang dalam di tubuh Majapahit.
- Sistem Suksesi yang Tidak Jelas: Majapahit tidak memiliki aturan suksesi yang baku seperti primogenitur (hak anak sulung). Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dengan banyaknya bhre (penguasa wilayah) justru menjadi bumerang. Setiap bangsawan kuat merasa berhak atas takhta, memicu intrik dan pemberontakan yang berkelanjutan.
2. Dalang Ekonomi: Melemahnya Posisi sebagai Emporium Dagang
Kekuatan Majapahit bertumpu pada kemampuannya mengendalikan jalur perdagangan rempah. Namun, dua perkembangan besar menjadi “dalang” yang menggerogoti fondasi ekonominya.
- Bangkitnya Kesultanan Malaka: Sejak awal abad ke-15, Malaka tumbuh pesat menjadi pusat perdagangan baru yang lebih strategis. Banyak pedagang, termasuk dari Arab, India, dan Tiongkok, yang beralih ke Malaka, mengurangi pendapatan bea cukai Majapahit.
- Masuknya Pengaruh Islam ke Kota-Kota Pelabuhan: Kota-kota pesisir seperti Gresik, Tuban, dan Surabaya yang dahulu setia kepada Majapahit, mulai berkembang menjadi pusat kekuatan politik dan ekonomi baru bercorak Islam. Mereka mulai melepaskan ketergantungan dan menolak membayar upeti kepada pusat pemerintahan di pedalaman.
3. Dalang Sosial & Religi: Pergeseran Keyakinan di Masyarakat
Masyarakat Nusantara mengalami transformasi keyakinan yang signifikan.
- Penyebaran Agama Islam yang Damai: Islam disebarkan oleh para wali dan pedagang dengan cara yang damai dan menarik. Ajaran Islam yang egaliter dan mudah dipelajari menarik minat banyak kalangan, termasuk para bangsawan dan masyarakat biasa. Hal ini mengurangi pengaruh agama Hindu-Buddha yang menjadi identitas resmi kerajaan Majapahit.
- Kekuatan Baru di Demak: Kesultanan Demak, yang merupakan pewaris legitimasi dari Kerajaan Islam pertama di Jawa, bukan hanya kekuatan agama baru, tetapi juga kekuatan politik dan militer yang bangkit dari kota-kota pesisir yang makmur.
4. Dalang Akhir: Serangan Demak dan Titik Puncak Keruntuhan
Pada tahun 1527, serangan yang dipimpin oleh Raden Patah dari Demak (menurut versi Babad Tanah Jawi) atau lebih tepatnya oleh Adipati Unus, sering dianggap sebagai pukulan final. Namun, penting dicatat bahwa saat diserang, Majapahit sudah dalam kondisi sangat lemah. Ibu kota kerajaan sudah beberapa kali berpindah, dan kekuasaannya nyaris tidak ada.
Serangan Demak ini bukanlah penyebab, melainkan akibat final dari proses keruntuhan yang telah berlangsung lebih dari seabad. Demak hanyalah “pemain” terakhir yang mendorong bangunan tua yang sudah rapuh itu untuk benar-benar runtuh.
Kesimpulan: Lalu, Siapa Dalang Sebenarnya?
Pertanyaan “siapa dalang di balik keruntuhan Majapahit?” tidak memiliki jawaban tunggal. Tidak ada satu pun dalang yang bisa disalahkan. Keruntuhan Majapahit adalah sebuah tragedi yang disebabkan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal.
Para “dalang” sebenarnya adalah:
- Elit Majapahit sendiri yang sibuk berebut kuasa.
- Perubahan jalur dan pusat ekonomi global yang tidak bisa diikuti.
- Pergeseran paradigma sosial dan religi masyarakat.
- Kelahiran kekuatan politik baru yang lebih dinamis dan sesuai dengan zamannya.
Dengan kata lain, Majapahit runtuh bukan karena dikalahkan oleh musuh tunggal, tetapi karena gagal beradaptasi dengan perubahan zaman, terkungkung dalam konflik internal, dan akhirnya digantikan oleh kekuatan baru yang lahir dari rahimnya sendiri. Pelajaran dari keruntuhan Majapahit ini tetap relevan untuk dipelajari hingga hari ini.