Kematian Aneh Presiden Korea Selatan Park Chung-hee

Kematian Presiden Korea Selatan Park Chung-hee pada 26 Oktober 1979 bukan sekadar sebuah pembunuhan politik biasa. Peristiwa ini adalah sebuah akhir yang dramatis dan penuh ironi bagi seorang pemimpin yang berkuasa selama 18 tahun, membawa Korea Selatan dari jurang kemiskinan menjadi raksasa industri, namun dengan tangan besi. Kematiannya terjadi bukan di tengah kerusuhan atau kudeta militer, tetapi dalam sebuah jamuan makan malam yang tenang, ditangan orang kepercayaannya sendiri. Artikel ini mengupas tuntas rangkaian peristiwa, motif, dan dampak besar dari kematian aneh yang menjadi titik balik sejarah demokrasi Korea Selatan.

presiden korea selatan

Siapa Park Chung-hee: Sang Arsitek dan Diktator

Sebelum membahas kematiannya, penting untuk memahami sosok Park Chung-hee. Naik ke kekuasaan melalui kudeta militer pada tahun 1961, Park adalah figur yang kontroversial. Di satu sisi, dia adalah “Bapa Modernisasi Korea Selatan”. Kebijakan ekonomi Five-Year Plans-nya berhasil membangun fondasi industri ekspor yang mengantarkan pada “Keajaiban Sungai Han”, mengangkat perekonomian negara yang sebelumnya terpuruk.

Di sisi lain, rezimnya adalah rezim otoriter. Dia memberlakukan darurat militer, membubarkan parlemen, dan memberangus kebebasan pers serta oposisi politik melalui lembaga intelijen yang ditakutinya, KCIA (Korean Central Intelligence Agency). Pada akhir 1970-an, kekuasaannya semakin absolut, memicu gelombang protes dan ketegangan politik yang meluas.

Malam Tragedi: 26 Oktober 1979 di Rumah Makan KCIA

Adegan dari kematian Park Chung-hee bak alur film thriller politik. Pada malam itu, Presiden Park menghadiri jamuan makan malam di sebuah gedung kesenangan milik KCIA di distrik Gungjeong-dong, Seoul. Yang hadir adalah orang-orang terdekatnya:

  • Kim Jae-gyu: Direktur KCIA sekaligus teman dekat Park dari masa akademi militer.
  • Cha Ji-chul: Kepala Pengawal Presiden yang loyal.

Laporan menyebutkan suasana makan malam itu tegang. Kim Jae-gyu diduga sedang ditekan oleh Park mengenai penanganannya terhadap kerusuhan prodemokrasi di kota Busan dan Masan. Park bahkan dikabarkan akan memberhentikannya.

Setelah jeda beberapa menit, Kim Jae-gyu kembali ke ruangan dan berteriak, “Bunuh dia!”—sebuah perintah yang ditujukan kepada anak buahnya, tetapi juga sekaligus menjadi sinyal. Dia sendiri mengeluarkan pistol dan menembak Cha Ji-chul hingga tewas di tempat. Kemudian, dia membidik Presiden Park Chung-hee, yang juga tewas seketika.

Motif yang Gelap dan Belum Terjawab: Mengapa Kim Jae-gyu Melakukannya?

Motif di balik pembunuhan ini tetap menjadi bahan perdebatan sejarah yang sengit. Secara garis besar, ada dua teori utama:

  1. Motif Pribadi dan Emosional (The Heat of the Moment): Teori ini menyatakan bahwa Kim Jae-gyu bertindak karena emosi yang memuncak. Penghinaan dan ancaman yang diterimanya dari Park selama makan malam, ditambah dengan persaingannya dengan Cha Ji-chul atas pengaruh terhadap Presiden, mendorongnya untuk melakukan pembunuhan secara spontan. Ini adalah narasi yang digunakan oleh pengadilan militer untuk menghukum mati Kim Jae-gyu.
  2. Kudeta yang Gagal (Conspiracy Theory): Teori yang lebih kompleks dan banyak dipercaya oleh para analis adalah bahwa ini adalah bagian dari rencana kudeta yang tidak sempurna. Kim Jae-gyu, yang mungkin merasa bahwa kepemimpinan otoriter Park justru membahayakan stabilitas negara, berniat untuk “memotong ekor komodo untuk menyelamatkan badannya” — sebuah metafora untuk mengorbankan Park untuk menyelamatkan Korea. Diduga, dia telah berkoordinasi dengan beberapa perwira militer lainnya. Namun, setelah pembunuhan terjadi, dukungan yang dijanjikan tidak muncul. Jenderal Chun Doo-hwan, yang justru memiliki ambisi sendiri, bergerak cepat mengambil alih kekuasaan dan mengeksekusi Kim Jae-gyu, mengubur kebenaran sebenarnya.

Dampak Langsung: Kekosongan Kekuasaan dan Bangkitnya Chun Doo-hwan

Kematian Park Chung-hee menciptakan kekosongan kekuasaan yang besar. Pemerintahan sementara diambil alih oleh Perdana Menteri Choi Kyu-hah, tetapi kekuatan nyata berada di tangan militer. Jenderal Chun Doo-hwan, yang memimpin Komando Keamanan Pertahanan, dengan cepat membersihkan rival-rivalnya dan merebut kekuasaan melalui kudeta pada 12 Desember 1979. Periode demokratisasi singkat yang diharapkan banyak orang pun sirna, digantikan oleh rezim otoriter lain yang bahkan lebih represif, sebelum akhirnya demokrasi benar-benar bersemi di tahun 1987.

Warisan yang Berliku: Pahlawan Pembangunan atau Diktator Otoriter?

Hingga hari ini, warisan Park Chung-hee tetap menjadi subjek polarisasi di Korea Selatan. Bagi generasi tua dan kalangan konservatif, dia adalah pahlawan nasional yang menyelamatkan negara dari kelaparan dan membangun fondasi kemakmuran yang dinikmati sekarang. Namun, bagi para aktivis demokrasi dan generasi muda, dia adalah simbol otoritarianisme yang menginjak-injak hak asasi manusia.

Kematian aneh Presiden Korea Selatan ini adalah pengingat yang kelam tentang betapa rapuhnya kekuasaan dan betapa kompleksnya tokoh sejarah. Kematiannya bukanlah akhir dari cerita, melainkan awal dari babak baru yang bergejolak dalam perjalanan panjang Korea Selatan menuju demokrasi dan modernitas yang seutuhnya. Peristiwa di Gungjeong-dong itu tetap menjadi bukti bahwa dalam politik, garis antara loyalitas dan pengkhianatan seringkali sangat tipis dan berdarah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *