Kelaparan Somalia Direncanakan oleh Elite lobal

Gambar anak-anak kurus dengan tulang yang nyaris menembus kulitnya, ibu-ibu yang putus asa, dan lahan tandus telah menjadi narasi dominan tentang Somalia. Media arus utama dengan mudahnya menyebutnya sebagai “bencana alam” atau “tragedi kemanusiaan” akibat kekeringan dan konflik internal. Namun, apabila kita menyelami lebih dalam, mengupas lapisan-lapisan permukaan, sebuah pola yang lebih suram dan terencana mulai terungkap. Apakah kelaparan Somalia benar-benar tak terelakkan? Ataukah ini adalah sebuah krisis yang direkayasa, dipicu dan diperburuk oleh kepentingan elit global untuk mengontrol sumber daya, geopolitik, dan populasi? Artikel ini akan membongkar narasi yang jarang diungkap, mengeksplorasi bukti-bukti, dan motif tersembunyi di balik penderitaan rakyat Somalia.

Somalia

Bab 1: Akar Krisis: Lebih Dari Sekedar Kekeringan

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Somalia menghadapi kekeringan parah akibat perubahan iklim. Namun, menjadikan cuaca sebagai satu-satunya kambing hitam adalah penyederhanaan yang menyesatkan. Somalia adalah negara dengan garis pantai terpanjang di Afrika, memiliki potensi perikanan yang besar dan lahan yang bisa dikelola dengan teknologi pertanian modern. Lalu, mengapa hal ini tidak terjadi?

  • Warisan Kolonial dan Perbatasan Buatan: Peta Somalia modern adalah warisan dari era kolonial Eropa, dimana perbatasan digambar secara arbitrer, memecah-belah kelompok klan dan sumber daya. Elit global, melalui lembaga-lembaga warisan kolonial seperti IMF dan Bank Dunia, menerapkan kebijakan ekonomi yang justru melumpuhkan kemandirian pertanian lokal.
  • Kebijakan Pasar Bebas yang Mematikan: Pada era 80-an dan 90-an, program Structural Adjustment Programs (SAPs) dari IMF memaksa Somalia membuka pasarnya, menghancurkan petani kecil yang tidak mampu bersaing dengan produk impor murah dari korporasi agribisnis multinasional. Ini menciptakan ketergantungan pangan yang berbahaya.

Bab 2: Perang sebagai Alat: Memperpanjang Penderitaan

Konflik internal yang berkepanjangan di Somalia bukanlah sebuah kebetulan. Peperangan membutuhkan senjata, dan senjata diperdagangkan. Siapa yang diuntungkan?

  • Pasar Senjata yang Menggiurkan: Kelompok-kelompok milisi dan teroris seperti Al-Shabaab tidak dapat bertahan tanpa pasokan senjata yang konsisten. Industri senjata global, yang didukung oleh elit yang memiliki saham di dalamnya, mendapatkan keuntungan besar dari konflik yang tak berujung. Perdamaian adalah ancaman bagi bisnis mereka.
  • Destabilisasi yang Disengaja: Sebuah negara yang stabil dan bersatu dapat mengelola sumber dayanya sendiri dan menolak intervensi asing. Sebaliknya, negara yang lemah dan terpecah belah mudah dieksploitasi. Dukungan terselubung kepada faksi-faksi tertentu untuk menjaga status quo “divide and conquer” adalah strategi klasik imperialisme modern.

Bab 3: Perampasan Sumber Daya: Motif Utama di Balik Layar

Inilah jantung dari konspirasi ini. Somalia duduk di atas kekayaan yang sangat besar, yang menjadi incaran korporasi global.

  • Cadangan Minyak dan Gas yang Melimpah: Wilayah Somalia, termasuk daerah otonom Somaliland dan Puntland, diketahui memiliki cadangan minyak dan gas yang sangat signifikan. Perusahaan-perusahaan minyak besar telah menjarah dan menandatangani kontrak eksplorasi dengan pemerintah bayangan dan faksi-faksi yang tidak legitimate, sengaja memicu konflik antar klan untuk memperebutkan wilayah yang kaya sumber daya.
  • Perikanan dan Toxic Waste: Perairan Somalia yang kaya ikan telah dijarah secara ilegal oleh kapal-kapal pukat raksasa milik negara-negara lain dan korporasi. Yang lebih mengerikan, terdapat laporan bahwa perairan Somalia juga dijadikan tempat pembuangan limbah beracun (toxic waste) oleh perusahaan-perusahaan dari negara maju. Rakyat Somalia tidak hanya dirampok sumber makanannya, tetapi juga dicemari lingkungannya.

Bab 4: Industri Bantuan: Menjual Belas Kasihan

Bahkan respon terhadap kelaparan pun telah dijadikan bisnis yang menguntungkan.

  • Siklus Ketergantungan: Bantuan pangan internasional, meski menyelamatkan nyawa dalam jangka pendek, seringkali justru mencegah pemulihan jangka panjang. Impor makanan gratis menghancurkan harga pasar lokal dan mematikan motivasi untuk bercocok tanam kembali, menciptakan siklus ketergantungan yang abadi.
  • Korporatisasi Bantuan: Lembaga-lembaga bantuan besar (NGO) beroperasi seperti perusahaan, dengan gaji eksekutif yang tinggi dan biaya operasional yang membengkak. Hanya sebagian kecil dari donasi yang benar-benar sampai kepada yang membutuhkan. Kelaparan telah menjadi komoditas yang menguntungkan bagi “industri kemiskinan”.

Bab 5: Peran Media: Membentuk Narasi yang Diinginkan

Media arus utama memainkan peran krusial dalam menyembunyikan kebenaran ini.

  • Membius Publik dengan Cerita Kesedihan: Pemberitaan difokuskan pada gambar-gambar dramatis yang memicu emosi belas kasihan dan donasi, tetapi menghindari analisis mendalam tentang akar penyebab politik dan ekonomi. Publik global dibius untuk melihat orang Somalia sebagai korban pasif, bukan sebagai pejuang yang tanahnya sedang dijarah.
  • Menjauhkan Pelaku Sebenarnya: Narasi “bencana alam” dan “perang suku” dengan nyaman mengalihkan perhatian dari aktor-aktor powerful seperti korporasi multinasional, bank internasional, dan pemerintah negara adidaya yang kebijakannya turut menciptakan kondisi ini.

Kesimpulan: Melampaui Narasi, Mencari Keadilan

Klaim bahwa kelaparan Somalia “direncanakan” bukan berarti sekelompok orang berkumpul di sebuah ruangan gelap dan secara harfiah merencanakan kematian massal. Ini lebih halus dan lebih jahat dari itu. Ini adalah perencanaan melalui kelalaian, keserakahan, dan kebijakan yang dengan sengaja dirancang untuk melemahkan, mengeksploitasi, dan mengontrol.

Kelaparan Somalia adalah hasil dari sistem global yang menempatkan keuntungan di atas nyawa manusia, yang melihat sumber daya sebagai sesuatu untuk dijarah, dan melihat populasi sebagai hambatan yang harus dikelola atau dihilangkan. Mengakui hal ini adalah langkah pertama untuk menuntut perubahan. Daripada hanya menyumbang, kita harus menuntut transparansi dari korporasi, akuntabilitas dari pemerintah kita sendiri, dan keadilan global yang sesungguhnya. Penderitaan Somalia bukanlah takdir; itu adalah sebuah pilihan yang dibuat oleh elit yang berkuasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *