DPR Pura-Pura Selesaikan, Mereka Ciptakan Krisis

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah pilar sentral demokrasi Indonesia. Sebagai lembaga legislatif, fungsinya membentuk undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menyalurkan aspirasi rakyat adalah pondasi dari negara hukum. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, narasi publik terhadap DPR justru sering diwarnai dengan sinisme. Sebuah tuduhan keras semakin kerap terdengar: DPR menciptakan krisis, lalu berpura-pura menyelesaikannya. Apakah ini hanya sekadar narasi pesimis ataukah terdapat kebenaran yang sulit dibantah di dalamnya?

DPR

Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai kontroversi dan kinerja DPR, menganalisis apakah lembaga terhormat ini masih berjalan pada relnya atau justru terjebak dalam permainan politik yang mengorbankan kepentingan rakyat.

Fungsi Ideal vs. Realita: Apa yang Seharusnya dan Apa yang Terjadi?

Secara konstitusional, DPR memiliki tiga fungsi utama:

  1. Fungsi Legislasi: Membuat undang-undang yang pro-rakyat dan menjawab kebutuhan bangsa.
  2. Fungsi Pengawasan (Agency Function): Mengawasi kinerja pemerintah dalam menjalankan undang-undang dan kebijakan.
  3. Fungsi Anggaran: Menyusun dan menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang efektif dan bebas dari pemborosan.

Dalam realitanya, ketiga fungsi ini sering dianggap berjalan tidak optimal. Proses legislasi terkesan lambat untuk UU yang penting bagi rakyat, tetapi sangat cepat untuk UU yang bermuatan kepentingan politik atau ekonomi kelompok tertentu. Fungsi pengawasan sering berubah menjadi ajang “perang politik” dengan pemerintah alih-alih kontrol yang konstruktif. Sementara fungsi anggaran kerap dicemari oleh isu “mark-up” dan proyek fiktif.

Pola “Ciptakan Krisis, Lalu Pura-Pura Selesaikan”: Bagaimana Mekanismenya?

Pola ini bukanlah teori konspirasi, melainkan sebuah model politik yang dapat diidentifikasi dari beberapa peristiwa. Polanya biasanya terdiri dari beberapa tahap:

  1. Tahap Pembuatan Masalah (Crisis Creation): DPR melalui hak interpelasi, hak angket, atau pernyataan publik yang provokatif memanaskan isu tertentu. Isu ini seringkali adalah masalah kompleks yang disederhanakan untuk menyudutkan pemerintah atau lembaga lain. Contohnya: menghebohkan suatu kebijakan pemerintah yang memang belum sempurna, tetapi disajikan seolah-olah itu adalah kesalahan fatal.
  2. Tahap Eskalasi dan Sorotan Media (Amplification): Isu tersebut kemudian terus digulirkan di media, melalui rapat-rapat yang dipublikasikan luas, dan pernyataan-pernyataan individual anggota dewan. Krisis persepsi pun tercipta. Publik dibuat cemas dan percaya bahwa negara sedang dalam masalah besar.
  3. Tahap “Penyelamatan” (Simulated Solution): Setelah suasana cukup panas, DPR kemudian muncul sebagai “pahlawan” dengan mengadakan rapat dengar pendapat, memanggil menteri, atau mengusulkan pembentukan panitia khusus (pansus). Aksi ini terlihat seperti bentuk keseriusan mereka menyelesaikan masalah.
  4. Tahap Reda dan Tidak Ada Solusi Konkret (Resolution Without Result): Pada akhirnya, setelah proses yang panjang dan menghabiskan anggaran, seringkali tidak ada rekomendasi yang jelas, kebijakan yang berubah, atau pun pertanggungjawaban. Isu pun mereda dengan sendirinya, digantikan oleh krisis baru yang lain. Anggota dewan terlihat telah “bekerja”, padahal outputnya nihil.

Bukti-Bukti Historis: Beberapa Kasus yang Menguatkan Tuduhan

Beberapa peristiwa dalam sejarah politik Indonesia belakangan ini dianggap sebagai contoh dari pola ini:

  • Kasus Bank Century: Salah satu kasus paling legendaris. Sebuah pansus dibentuk dan menghabiskan waktu berbulan-bulan dengan drama politik yang tinggi. Hasilnya? Tidak ada kesimpulan yang benar-benar jelas dan eksekusi hukum yang berarti bagi publik. Yang ada hanya pemberitaan besar-besaran dan polarisasi politik.
  • Pengawasan Tender Proyek Strategis: DPR kerap mengangkat isu mark-up atau kecurangan dalam tender proyek infrastruktur. Namun, pengawasan ini jarang yang berujung pada penghematan anggaran yang signifikan untuk negara. Alih-alih, sering diduga sebagai bentuk “bargaining power” untuk kepentingan tertentu.
  • Drama Pengesahan RUU Kontroversial: Seperti RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Prosesnya dikebut di tengah protes berbagai elemen masyarakat. DPR menciptakan situasi “krisis” dimana UU ini harus cepat disahkan untuk menyelamatkan investasi. Akibatnya, terjadi gejolak sosial yang besar. DPR kemudian “berpura-pura menyelesaikan” dengan mengadakan rapat-rapat klarifikasi, tetapi substansi pokok UU sudah tetap disahkan.
  • Hak Interpelasi dan Hak Angket sebagai Alat Tekan: Hak-hak ini, yang seharusnya menjadi alat pengawasan yang mulia, sering digunakan di luar konteksnya. Misalnya, untuk menekan pemerintah dalam hal koalisi atau untuk mengalihkan perhatian dari isu internal DPR sendiri.

Akar Permasalahan: Mengapa Ini Terus Terjadi?

Pola ini terus berulang bukan tanpa alasan. Beberapa faktor penyebabnya adalah:

  1. Orientasi Pencitraan: Di era media sosial, setiap anggota dewan butuh eksistensi. Menciptakan dan “menyelesaikan” krisis adalah cara cepat untuk mendapatkan sorotan dan dianggap sebagai pahlawan oleh konstituennya.
  2. Ketiadaan Akuntabilitas ke Publik: Pada akhirnya, kinerja anggota DPR sangat sulit diukur oleh rakyat biasa. Mereka yang terpilih kembali seringkali karena faktor popularitas atau mesin partai, bukan karena catatan kinerja legislasi dan pengawasannya.
  3. Konflik Kepentingan: Banyak anggota dewan yang juga memiliki bisnis yang berkaitan dengan kebijakan negara. Tidak jarang, sebuah “krisis” sengaja diciptakan untuk mempengaruhi kebijakan yang menguntungkan kelompoknya.
  4. Kultur Politik yang Tidak Sehat: Politik Indonesia masih sering diwarnai oleh budaya “serangan dan bela”, bukan “diskusi dan solusi”. Mengkritik dan menciptakan masalah dianggap lebih menguntungkan secara politik daripada duduk bersama menyelesaikan masalah secara substantif.

Lalu, Apa Solusinya? Bagaimana Mencegah Pola Ini Terus Berulang?

Rakyat tidak boleh terus menerus menjadi korban dari permainan politik ini. Beberapa hal yang bisa dilakukan:

  • Pendidikan Politik Publik: Masyarakat harus semakin cerdas dan kritis. Tidak mudah percaya pada narasi yang dibangun oleh satu pihak saja. Mencari informasi dari berbagai sumber adalah kunci.
  • Memperkuat Lembaga Pengawas Eksternal: Seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, dan lembaga pengawas pemilu (KPU dan Bawaslu). Lembaga ini harus dilindungi independensinya untuk mengawasi para pengawas (DPR).
  • Menggunakan Hak Pilih dengan Bijak: Pada pemilu berikutnya, evaluasi kinerja calon incumbent. Telusuri rekam jejaknya, apakah ia produktif membuat UU yang bermanfaat atau hanya jago berbicara dan menciptakan keributan?
  • Transparansi Anggaran DPR: Anggaran DPR harus bisa diakses dan dipahami oleh publik secara detail. Agar masyarakat tahu uang rakyat digunakan untuk apa saja, termasuk untuk membiayai pansus-pansus yang tidak jelas hasilnya.

Kesimpulan: Antara Harapan dan Kenyataan

Tuduhan “Mereka Ciptakan Krisis, DPR Pura-Pura Selesaikan” adalah sebuah kritik pedas yang lahir dari kekecewaan publik. Pola ini mungkin tidak dilakukan oleh semua anggota dewan, tetapi cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa hal itu memang terjadi.

DPR seharusnya menjadi rumah bagi para negarawan yang bekerja untuk kemaslahatan bangsa, bukan panggung bagi para politisi yang mencari panggung. Masyarakat harus terus mendorong dan mengawasi agar lembaga tertinggi dalam perwakilan rakyat ini kembali kepada khittah-nya: melaksanakan kedaulatan rakyat dengan jujur, adil, dan bertanggung jawab. Jangan biarkan krisis yang diciptakan menjadi pengalih perhatian dari krisis sesungguhnya, yaitu krisis akuntabilitas dan kepercayaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *