J. Robert Oppenheimer, sang “bapak bom atom”, mengutip ayat Bhagavad Gita setelah uji coba Trinity sukses: “Sekarang aku menjadi Sang Maut, penghancur dunia.” Kata-kata ini bukan hanya ekspresi kemenangan, tetapi juga beban moral yang akan ia tanggung seumur hidup. Namun, di era baru eksplorasi antariksa dan pencarian kehidupan lain, sebuah pertanyaan filosofis yang lebih dalam mengemuka: Apakah dosa Oppenheimer dan bom atomnya suatu hari bisa menjadi ancaman tidak hanya bagi Bumi, tetapi juga bagi peradaban lain di alam semesta?

Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri warisan ganda yang ditinggalkan oleh Oppenheimer dan ciptaannya.
Warisan Ganda Sang Ilmuwan
Oppenheimer adalah sosok yang kompleks. Di satu sisi, Proyek Manhattan yang ia pimpin berhasil mengakhiri Perang Dunia II dengan lebih cepat, berpotensi menyelamatkan nyawa ribuan tentara. Di sisi lain, dua bom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki menewaskan ratusan ribu jiwa sipil secara instan dan meninggalkan dampak radiasi yang mengerikan untuk generasi berikutnya.
Konflik batinnya mewarnai sisa hidupnya. Ia menjadi advokat vokal untuk pengendalian senjata nuklir, sebuah sikap yang justru membuatnya berkonflik dengan pemerintah AS dan dicabut izin keamanannya. Dosa Oppenheimer, dalam pandangan banyak orang, bukanlah pada penemuan sainsnya, tetapi pada bagaimana penemuan itu dipergunakan untuk pembantaian massal dan memicu perlombaan senjata pemusnah massal selama Perang Dingin.
Paradoks Fermi dan Ancaman Nuklir
Di sinilah kita memasuki wilayah spekulasi yang menarik, yang terhubung dengan Paradoks Fermi. Paradoks ini bertanya: “Jika alam semesta begitu luas dan tua, di mana semua peradaban lain?”
Salah satu solusi untuk paradoks ini adalah Hipotesis Penyaring Besar (The Great Filter). Hipotesis ini menyatakan bahwa ada suatu “penyaring” yang mencegah kehidupan mencapai tahap peradaban antar-bintang. Penyaring itu bisa berupa bencana alam, atau—yang lebih relevan dengan konteks kita—kecerdasan itu sendiri yang membawa kehancuran.
Bom atom, yang lahir dari proyek Oppenheimer, bisa menjadi salah satu kandidat “Penyaring Besar” tersebut. Sebuah peradaban yang cukup pintar untuk menciptakan energi nuklir, tetapi tidak cukup bijak untuk mengelolanya, mungkin akan menghancurkan dirinya sendiri sebelum sempat melakukan kontak dengan kita. Dalam skenario ini, dosa Oppenheimer bukan lagi dosa terhadap manusia, melainkan sebuah pola yang mungkin berulang di seluruh galaksi: peradaban yang bunuh diri.
Bom Atom: Pelindung atau Pemancing Perhatian yang Berbahaya?
Ada dua sisi ketika mempertimbangkan senjata nuklir dalam konteks peradaban lain.
- Sebagai Pencegah (Deterren): Secara teoretis, kemampuan nuklir bisa menjadi tameng. Jika suatu peradaban lain mengetahui bahwa kita memiliki senjata pemusnah massal, mereka mungkin akan berpikir dua kali untuk melakukan invasi. Dalam narasi ini, warisan Oppenheimer justru menjadi alat pertahanan planet.
- Sebagai Sinyal Bahaya: Sebaliknya, ledakan nuklir adalah peristiwa energetik yang sangat besar. Ledakan uji coba bom nuklir, termasuk Trinity, memancarkan sinyal radiasi yang, secara teori, bisa terdeteksi oleh peradaban yang cukup maju di luar sana. Apa yang akan mereka pikirkan? Mereka mungkin menganggap kita sebagai spesies yang agresif, tidak stabil, dan berbahaya—sebuah “remaja galaksi” yang baru saja menemukan korek api. Alih-alih menyambut, mereka mungkin memilih untuk mengisolasi kita atau bahkan menetralisir ancaman potensial tersebut.
Kesimpulan: Pelajaran dari Dosa Oppenheimer untuk Masa Depan Antariksa
Jadi, apakah Oppenheimer dan bom atomnya adalah dosa untuk peradaban lain? Jawabannya terletak pada pilihan kita sebagai umat manusia.
Oppenheimer memberikan kita dua warisan: sebuah peringatan dan sebuah alat. Peringatannya adalah bahwa kecerdasan tanpa kebijaksanaan adalah resep bagi bencana. Kutipan “Sang Maut” bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang tanggung jawab yang menyertainya.
Warisan Oppenheimer yang paling abadi mungkin bukanlah bomnya, melainkan pelajaran moralnya. Sebelum kita berambisi untuk menjadi peradaban antar-bintang, kita harus terlebih dahulu belajar mengatasi kecenderungan kita untuk menghancurkan diri sendiri. Kita harus lulus dari “Penyaring Besar” kita sendiri.
Masa depan hubungan kita dengan peradaban lain, jika ada, sangat bergantung pada bagaimana kita mengelola warisan berbahaya yang diciptakan oleh ilmuwan brilian di abad yang lalu itu. Dosa Oppenheimer akan menjadi dosa kolektif umat manusia jika kita gagal belajar darinya, tidak hanya untuk Bumi, tetapi juga untuk tempat kita di kosmos yang luas ini.