Borobudur, mahakarya agung yang berdiri megah di tanah Jawa, telah lama dikenal sebagai candi Buddha terbesar di dunia. Dibangun pada abad ke-9 di bawah Wangsa Syailendra, situs warisan dunia UNESCO ini setiap tahunnya menarik jutaan peziarah dan wisatawan. Namun, di balik kemasyhurannya sebagai tempat suci umat Buddha, terdapat teori menarik yang mempertanyakan narasi utamanya: Apakah Borobudur pada dasarnya adalah sebuah piramida berundak yang kemudian “disamarkan” atau diadaptasi menjadi candi Buddha?

Artikel ini akan mengupas tuntas desain arsitektur, simbolisme, dan misteri yang melingkupi Borobudur, menghubungkannya dengan konsep piramida kuno.
Mengurai Desain Arsitektur: Piramida Berundak Jawa
Jika diamati dari udara atau dari kejauhan, bentuk Borobudur sangat jelas menyerupai sebuah piramida berundak (step pyramid). Struktur ini tidak asing dalam budaya kuno dunia, seperti yang ditemukan di Mesir, Mesopotamia, dan terutama di Amerika Latin (suku Maya dan Aztec).
Berikut adalah elemen-elemen arsitektural Borobudur yang memperkuat kesan “piramida”-nya:
- Struktur Berundak yang Masif: Borobudur dibangun dalam 10 teras berundak, membentuk kerucut raksasa. Enam teras terbawah berbentuk persegi dan tiga teras di atasnya berbentuk melingkar, dengan sebuah stupa utama di puncaknya. Desain bertingkat ini adalah ciri khas piramida berundak, yang bertujuan untuk mencapai ketinggian dan kesakralan.
- Pondasi yang Kokoh dan Raksasa: Seperti piramida pada umumnya, Borobudur dibangun di atas sebuah bukit alami yang diperkuat dengan struktur batu andesit yang sangat masif. Ini menciptakan kesan gundukan buatan manusia yang menjulang dari tanah.
- Fungsi sebagai “Gunung Suci”: Dalam kosmologi kuno Nusantara, gunung dianggap sebagai tempat bersemayamnya dewa-dewa dan leluhur. Borobudur, dengan bentuknya yang menyerupai gunung, diduga kuat berfungsi sebagai replika Gunung Meru, pusat alam semesta dalam kepercayaan Hindu-Buddha dan kosmologi lokal Jawa. Konsep “gunung suci” ini juga paralel dengan fungsi banyak piramida di dunia.
Borobudur sebagai Candi Buddha: Narasi yang Diterima
Tidak dapat disangkal, Borobudur adalah sebuah kitab suci Buddha yang terbuat dari batu. Seluruh reliefnya yang berjarak total 3.000 meter menggambarkan kehidupan Sang Buddha, ajaran-ajarannya (Dharma), dan perjalanan spiritual menuju pencerahan (Nirwana).
- Perjalanan Spiritual: Struktur berundaknya merepresentasikan perjalanan spiritual dari dunia nafsu (Kamadhatu) di bagian terbawah, menuju dunia berbentuk (Rupadhatu) di teras persegi, dan akhirnya ke dunia tanpa bentuk (Arupadhatu) di teras melingkar dan stupa puncak.
- Stupa dan Arca Buddha: Ratusan stupa dan arca Buddha yang menghiasi setiap terasnya adalah simbol-simbol Buddha yang tak terbantahkan.
Lalu, di manakah letak “penyamaran”-nya?
Teori “Piramida yang Disamarkan”: Melirik Masa Pra-Buddha
Teori alternatif berangkat dari pertanyaan: Apakah situs ini awalnya adalah sebuah struktur piramida berundak yang lebih tua, mungkin peninggalan kebudayaan megalitik Nusantara, yang kemudian diadopsi dan di-“Buddha”-kan oleh Wangsa Syailendra?
Beberapa argumen yang mendukung teori ini adalah:
- Warisan Megalitik Nusantara: Indonesia kaya akan situs megalitik seperti punden berundak, yang merupakan struktur berundak yang digunakan untuk pemujaan roh leluhur. Borobudur bisa dilihat sebagai punden berundak dalam skala yang sangat monumental dan mewah. Gagasan bahwa situs suci sebelumnya diambil alih dan dibangun ulang oleh agama yang baru datang adalah hal yang umum dalam sejarah.
- Ketiadaan Ruang Ibadah atau Ruang Dalam: Tidak seperti candi-candi lainnya (contohnya Prambanan), Borobudur tidak memiliki ruang dalam (inner chamber) untuk patung dewa utama atau ruang untuk meditasi kolektif. Fungsinya lebih seperti sebuah monumen atau jalur prosesi spiritual yang berputar ke atas. Karakteristik ini lebih dekat dengan piramida daripada candi pada umumnya.
- Misteri Pembangunan dan Penimbunan: Ada teori yang menyebutkan bahwa bagian kaki asli (Kāmadhātu) Borobudur yang berisi relief menggambarkan hukum sebab-akibat (karma) “ditelan bumi” atau sengaja ditimbun. Hal ini menimbulkan spekulasi apakah ada struktur yang lebih tua di bawahnya yang sengaja ditutupi atau diperkuat.
Kesimpulan: Sintesis Budaya, Bukan Penyamaran
Daripada menggunakan kata “disamarkan” yang bernada konspiratif, mungkin lebih tepat menyimpulkan bahwa Borobudur adalah sebuah sintesis genius dari berbagai kepercayaan dan arsitektur.
Para arsitek dan penguasa Wangsa Syailendra pada masanya mungkin dengan cerdik mengambil bentuk piramida berundak atau punden berundak yang sudah dikenal luas dan dianggap sakral oleh penduduk lokal, lalu memadukannya dengan narasi, simbol, dan ajaran Buddha yang mendalam.
Borobudur bukanlah “piramida yang disamarkan sebagai candi Buddha,” melainkan sebuah piramida Jawa yang dijiwai oleh Buddhisme. Ia adalah bukti nyata bagaimana kebudayaan lokal Nusantara yang kuat berpadu secara harmonis dengan pengaruh spiritual global, melahirkan sebuah keajaiban dunia yang abadi dan penuh makna.
Dengan demikian, Borobudur menjadi lebih istimewa. Ia bukan hanya milik umat Buddha, tetapi juga merupakan warisan arsitektural dan spiritual nenek moyang Nusantara yang berdiri di persimpangan antara tradisi piramida kuno dan filsafat Buddha yang agung.