Dalam lipatan sejarah Indonesia, sedikit dokumen yang memiliki daya pikat dan kontroversi setara dengan Surat Perintah Sebelas Maret, atau yang lebih dikenal sebagai Supersemar. Dokumen ini dianggap sebagai titik balik monumental yang mengakhiri kekuasaan Orde Lama dan membuka jalan bagi lahirnya Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Namun, di balik perannya yang sentral, Supersemar menyimpan kabut misteri yang tak kunjung tersibak. Dimanakah sebenarnya dokumen itu ditandatangani? Apa isi yang sesungguhnya? Dan mengapa salinannya bisa berbeda-beda? Inilah narasi tentang teka-teki sejarah yang hingga detik ini tak pernah terungkap.

Latar Belakang: Situasi Genting Awal Maret 1966
Untuk memahami misterinya, kita harus mundur ke kondisi Jakarta pada Maret 1966. Situasi politik memanas pasca peristiwa G30S. Presiden Soekarno dianggap gagal mengendalikan keadaan. Tekanan dari mahasiswa dan tentara semakin kuat. Pada tanggal 11 Maret 1966, saat sidang kabipress (kabinet presiden) berlangsung, datang laporan bahwa pasukan tak dikenal mengepung istana. Soekarno, bersama Wakil Perdana Menteri Dr. Leimena dan Dr. Chaerul Saleh, kemudian meninggalkan Istana menuju Istana Bogor dengan helikopter.
Suasana di Istana Bogor pun tegang. Malam itu, datanglah tiga perwira militer: Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud. Mereka meyakinkan Soekarno untuk memberikan mandat kepada Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), untuk memulihkan keamanan dan kestabilan negara. Dari pertemuan inilah Supersemar lahir.
Inti Misteri: Titik Awal Kontroversi
Di sinilah semua pertanyaan bermula. Proses kelahiran dokumen ini diselimuti oleh berbagai versi dan ketidakjelasan yang menjadi jantung dari misterinya.
1. Teks Asli yang Hilang
Fakta paling mendasar dan mengejutkan adalah: naskah asli Supersemar tidak pernah ditemukan. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tidak memilikinya. Keluarga Soekarno maupun Soeharto juga tidak menyimpan dokumen fisiknya. Ketidakhadiran bukti fisik utama ini menciptakan ruang kosong yang dipenuhi dengan spekulasi dan teori konspirasi. Bagaimana mungkin sebuah dokumen yang begitu penting bagi perjalanan bangsa justru lenyap tanpa jejak?
2. Lokasi Penandatanganan yang Diperdebatkan
Versi resmi Orde Baru menyatakan bahwa Supersemar ditandatangani oleh Soekarno di Istana Bogor. Namun, sejumlah saksi dan sejarawan meragukan hal ini. Soekarno sendiri dalam otobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, menyangkal telah menandatanganinya di Bogor. Ia mengisyaratkan bahwa tanda tangannya mungkin telah dipalsukan atau dokumen tersebut ditandatangani di tempat dan waktu lain dengan paksaan. Perbedaan kesaksian ini menjadi salah satu pilar utama yang memperkuat misteri Supersemar.
3. Konten dan Versi yang Berbeda
Tidak hanya lokasinya, isi dari Supersemar pun memiliki beberapa versi. Terdapat setidaknya tiga versi teks yang beredar:
- Versi Pertama (yang diklaim sebagai draft): Berisi perintah kepada Soeharto untuk mengambil tindakan yang diperlukan bagi keamanan negara dan kewibawaan Presiden Soekarno.
- Versi Kedua (yang disebarluaskan ke media): Memiliki inti yang sama, tetapi dengan penekanan yang sedikit berbeda.
- Versi Ketiga (yang dijadikan dasar oleh Soeharto): Versi inilah yang kemudian ditafsirkan Soeharto secara sangat luas. Ia tidak hanya memulihkan keamanan, tetapi juga membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan membersihkan unsur-unsur komunis dari pemerintahan. Kekuatan inilah yang menjadi landasan hukum bagi Soeharto untuk mengambil alih kendali pemerintahan secara bertahap.
Perbedaan antar versi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Manakah teks yang sah? Apakah Soekarno menyadari sepenuhnya konsekuensi dari isi dokumen yang ia tanda tangani (jika benar ia yang menandatangani)?
Interpretasi dan Konsekuensi: Dari Surat Perintah menjadi “Surat Tahta”
Terlepas dari misterinya, dampak Supersemar nyata dan dahsyat. Soeharto, dengan dokumen ini di tangannya, bergerak cepat. Dalam hitungan hari, PKI dibubarkan dan sejumlah menteri yang dianggap terlibat G30S ditangkap. Soekarno secara perlahan tapi pasti dilucuti kekuasaannya. Supersemar, yang awalnya diklaim sebagai surat perintah untuk memulihkan keamanan, berubah menjadi instrumen transfer kekuasaan yang sah secara hukum (de jure) dari Soekarno kepada Soeharto.
Bagi Orde Baru, Supersemar adalah “surat tahta” yang legitimasi. Setiap tahun, peringatan Supersemar dirayakan secara besar-besaran untuk mengukuhkan narasi bahwa Soeharto naik ke puncak kekuasaan atas permintaan Soekarno sendiri dan untuk menyelamatkan negara.
Penutup: Mengapa Misteri Ini Tetap Relevan?
Pertanyaan-pertanyaan seputar Supersemar bukan sekadar perdebatan akademis yang usang. Ia adalah representasi dari transisi kekuasaan yang gelap dan tidak transparan. Ketidakhadiran naskah asli, kontradiksi kesaksian, dan keberadaan multiple versi teks adalah metafora dari tertutupnya akses terhadap kebenaran sejarah pada masa itu.
Misteri Supersemar yang tak pernah terungkap mengajarkan kita tentang pentingnya transparansi dan dokumentasi dalam setiap peristiwa penting bangsa. Hingga hari ini, dokumen tersebut tetap menjadi teka-teki terbesar yang menunggu untuk dipecahkan, mengundang setiap generasi untuk terus bertanya, merekonstruksi, dan mencari jawaban tentang salah satu momen paling menentukan dalam sejarah Indonesia modern. Pencarian terhadap kebenaran di balik Supersemar pada hakikatnya adalah pencarian untuk memahami jiwa dan luka kolektif bangsa Indonesia.