Nama Ken Arok terukir dalam sejarah Nusantara sebagai pendiri Kerajaan Singhasari, cikal bakal imperium besar Majapahit. Kisah hidupnya yang penuh intrik, pembunuhan, cinta, dan takhta layaknya sebuah drama epik yang diceritakan dalam Kitab Pararaton. Namun, di balik narasi heroik tentang seorang anak desa yang menjadi raja, terselip pertanyaan kritis: apakah Ken Arok benar-benar seorang genius politik yang mandiri, ataukah dia hanyalah pion, sebuah “boneka” yang dimainkan oleh para pendeta dan brahmana untuk merebut kekuasaan dari dinasti yang sah?

Untuk menjawabnya, kita perlu menyelami lebih dalam narasi sejarah dan mitos yang menyelimuti kehidupan Ken Arok, menganalisis peran para pendeta, dan memahami konteks politik-religius Jawa pada abad ke-13.
Konteks Kekuasaan Jawa sebelum Kelahiran Ken Arok
Sebelum Ken Arok muncul, Jawa Timur dikuasai oleh Kerajaan Kadiri (Kediri) di bawah pemerintahan Raja Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dandang Gendis). Kertajaya digambarkan sebagai penguasa yang arogan dan menentang para brahmana. Perselisihan inilah yang menjadi bibit pemberontakan. Para brahmana, yang merupakan kelas religius dan intelektual yang sangat berpengaruh, mencari sosok yang dapat mereka dukung untuk menjatuhkan Kertajaya. Di sinilah Ken Arok masuk ke dalam panggung sejarah.
Analisis Peran Para Pendeta dalam Perjalanan Ken Arok
Berdasarkan Kitab Pararaton, intervensi para pendeta dalam hidup Ken Arok sangatlah nyata dan menentukan. Berikut adalah titik-titik kritisnya:
1. Legitimasi Ilahiah dan Ramalan
Sejak awal, para brahmana memberikan legitimasi ilahiah kepada Ken Arok. Mereka meramalkan bahwa anak desa dari wilayah Tumapel ini ditakdirkan menjadi penguasa besar. Ramalan semacam ini adalah alat politik klasik untuk membangun kepercayaan dan menggalang dukungan massa. Dengan “stempel” dari para pemegang otoritas religius, status Ken Arok yang rendah seketika terangkat.
2. Pusaka Sakti sebagai Alat Kekuasaan
Salah satu momen paling krusial adalah pembuatan keris sakti oleh Mpu Gandring. Meskipun Mpu Gandring adalah seorang pandai besi, prosesnya memiliki muatan religius dan mistis yang kuat. Keris itu sendiri bukan sekadar senjata, melainkan simbol legitimasi dan kekuatan. Keterlibatan para pendeta dalam memberikan “restu” atau mantra untuk pusaka semacam itu sangat mungkin.
3. Konspirasi Pembunuhan Tunggul Ametung
Ini adalah inti dari teori “boneka”. Ken Arok didukung secara aktif oleh para brahmana untuk membunuh Tunggul Ametung, Akuwu (setara bupati) Tumapel yang setia kepada Kadiri.
- Akses: Ken Arok, sebagai pengawal, memiliki akses fisik kepada Tunggul Ametung.
- Motif: Para brahmana memiliki motif politis (menjatuhkan Kadiri) dan mungkin juga religius. Ken Arok memiliki motif pribadi, yaitu merebut istri Tunggul Ametung, Ken Dedes.
- Pelaksanaan: Pembunuhan dilakukan dengan keris Mpu Gandring, sebuah senjata yang sudah “dipersiapkan” untuk tujuan tersebut.
Keterlibatan pendeta dalam konspirasi ini sangat jelas. Mereka tidak hanya memberikan restu tetapi juga memanipulasi ambisi pribadi Ken Arok untuk mencapai tujuan politik mereka: mencopot penguasa lokal yang pro-Kadiri.
4. Perebutan Takhta dan Pendirian Singhasari
Setelah Tumapel dikuasai, Ken Arok kemudian memimpin pemberontakan terbuka melawan Kerajaan Kadiri. Perang Ganter (1222) tidak dimenangkan hanya oleh prajurit biasa. Pararaton menceritakan bahwa Ken Arok menggunakan siasat dan mungkin juga kekuatan magis—lagi-lagi, domain di mana para pendeta dan brahmana berperan. Kemenangan ini akhirnya mengantarkannya menjadi Raja Singhasari pertama.
Ken Arok: Antara Boneka dan Genius Politik yang Cerdik
Meski bukti-bukti naratif menunjukkan kuatnya pengaruh para pendeta, menyimpulkan bahwa Ken Arok hanyalah “boneka” yang tak berdaya adalah simplifikasi yang berlebihan. Ada sisi lain yang menunjukkan agency (keagenan) dan kecerdikan politiknya sendiri.
1. Ambisi Pribadi yang Membara
Ken Arok bukanlah orang yang mudah dikendalikan. Ambisinya untuk memiliki Ken Dedes dan merebut kekuasaan sudah ada sebelum intervensi brahmana secara penuh. Dia memanfaatkan tawaran kerja sama dari para brahmana sama besarnya dengan mereka memanfaatkannya. Ini adalah hubungan simbiosis mutualisme.
2. Pengkhianatan terhadap Mpu Gandring
Tindakannya membunuh Mpu Gandring karena keterlambatan penyelesaian keris menunjukkan watak impulsif dan berbahaya yang tidak dimiliki oleh seorang boneka. Seorang boneka biasanya patuh, sementara Ken Arok justru mudah berkhianat kepada siapa pun yang menghalangi tujuannya, termasuk para pendeta yang mendukungnya.
3. Kepemimpinan dan Visi
Mendirikan sebuah kerajaan baru dan mengalahkan Kadiri yang sudah mapan membutuhkan lebih dari sekadar restu pendeta. Itu memerlukan kecakapan militer, diplomasi, dan kepemimpinan. Ken Arok jelas memiliki kemampuan ini. Dia berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan dan mendirikan dinasti baru yang legendaris.
Kesimpulan: Simbiosis Kekuatan, Bukan Boneka
Jadi, benarkah Ken Arok hanya boneka para pendeta? Jawabannya adalah tidak sepenuhnya.
Hubungan antara Ken Arok dan para pendeta lebih tepat digambarkan sebagai aliansi strategis dan simbiosis mutualisme. Para brahmana membutuhkan seorang “panglima” yang berani, ambisius, dan tangguh untuk melaksanakan agenda politik mereka menjatuhkan Kertajaya. Mereka menyediakan legitimasi religius, ramalan, dan dukungan konspirasi.
Di sisi lain, Ken Arok membutuhkan legitimasi itu untuk mengangkat status sosialnya yang rendah dan mendapatkan dukungan dari kalangan elite. Dia memanfaatkan jaringan dan pengaruh para brahmana untuk mencapai ambisi pribadinya merebut takhta dan mempersunting Ken Dedes.
Dia bukanlah boneka yang tanpa kehendak, melainkan mitra yang cerdik dan agresif yang memahami betul nilai dirinya bagi para pendeta. Hubungan ini adalah permainan kekuasaan kuno di mana agama dan politik berkelindan erat, saling memanfaatkan untuk merebut dan mempertahankan takhta. Kisah Ken Arok mengajarkan bahwa dalam sejarah, kekuasaan seringkali lahir dari perselingkuhan antara ambisi duniawi dan legitimasi surgawi.