DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) adalah pilar utama demokrasi Indonesia. Secara konstitusional, lembaga ini memegang tiga fungsi strategis: fungsi legislatif (membuat undang-undang), fungsi anggaran (menyusun dan menyetujui APBN), dan fungsi pengawasan (mengawasi jalannya pemerintahan). Namun, di mata publik, kinerja DPR sering kali diwarnai dengan ironi. Banyak yang beranggapan bahwa rapat-rapat DPR, yang seharusnya menjadi ruang diskusi elit untuk kemajuan bangsa, tidak lebih dari sekadar “sandiwara para penguasa”. Apakah anggapan ini benar adanya? Artikel ini akan mengupas tuntas dinamika di balik layar rapat-rapat DPR.

Panggung Sandiwara: Memaknai “Sandiwara Penguasa”
Istilah “sandiwara” dalam konteks ini merujuk pada sebuah pertunjukan yang direkayasa, di mana outcome-nya sudah ditentukan dari awal, namun dihadirkan seolah-olah melalui proses demokratis dan perdebatan yang alot. Rakyat hanya dijadikan penonton yang pasif, menyaksikan para aktor (anggota DPR) memainkan peran mereka dengan script yang telah disepakati.
Ciri-ciri dari “sandiwara” ini dapat terlihat dari beberapa pola:
- Debat Kusir yang Tidak Substansial: Rapat sering diisi dengan pernyataan-pernyataan bombastis dan emosional yang viral di media, tetapi miskin data dan solusi. Perdebatan hanya di permukaan, tidak menyentuh akar masalah.
- Drama Politik yang Direkayasa: Konflik antara koalisi dan oposisi seringkali terasa dipaksakan dan bersifat sementara. Mereka berdebat keras di ruang rapat, tetapi bersahabat baik di luar ruangan, menunjukkan bahwa konflik tersebut mungkin hanya untuk konsumsi publik.
- Keputusan yang Sudah Ditentukan (Fixed Outcome): Hasil akhir dari sebuah rapat, seperti pengesahan suatu UU atau pemilihan pimpinan KPK, seringkali sudah dapat diprediksi karena adanya kesepakatan politik di balik layar (oligarhi). Proses rapat dan pemungutan suara hanya formalitas belaka.
Bukti-Bukti “Sandiwara” di Gedung DPR
Beberapa momen dalam sejarah politik Indonesia memperkuat tuduhan ini:
- Pengesahan UU Kontroversial: Beberapa Undang-Undang disahkan dengan proses yang terburu-buru dan partisipasi publik yang minim, seperti UU Cipta Kerja. Rapat dikebut meskipun mendapat penolakan dari berbagai kalangan, menunjukkan bahwa kepentingan penguasa (pemerintah dan pengusaha) lebih diutamakan daripada suara rakyat.
- Rapat Dengar Pendendum (RDP) yang Lemah: Fungsi pengawasan sering kali tidak maksimal. Dalam RDP dengan menteri atau pimpinan instansi, anggota DPR terkesan “segan” atau bahkan berkolusi. Pertanyaan kritis justru sering datang dari anggota yang tidak separtai dengan pemerintah, sementara fraksi pendukung pemerintah lebih banyak membela.
- Skandal dan Moral Hazard: Berbagai skandal korupsi yang melibatkan anggota DPR sendiri meruntuhkan kredibilitas mereka. Bagaimana mungkin lembaga yang seharusnya mengawasi anggaran negara justru menjadi predator bagi anggaran tersebut? Ini memperkuat narasi bahwa mereka berkumpul bukan untuk rakyat, tetapi untuk kekuasaan dan kepentingan pribadi/kelompok.
- Anggaran DPR yang Membengkak: Di tengah kesulitan ekonomi rakyat, anggaran untuk fasilitas dan tunjangan anggota DPR justru terus meningkat. Hal ini menimbulkan kesan bahwa mereka hidup dalam “gelembung” yang terpisah dari rakyat yang diwakilinya.
Akar Permasalahan: Mengapa “Sandiwara” Ini Terus Berlangsung?
- Sistem Presidensial yang Kuat (Heavy Government Influence): Dalam sistem presidensial multi-partai, pemerintah membutuhkan dukungan mayoritas di DPR. Untuk mendapatkannya, sering terjadi transaksi politik (“bagi-bagi kue”) dalam bentuk pembagian jabatan, proyek, atau kebijakan yang menguntungkan partai koalisi. Ini melemahkan fungsi pengawasan DPR.
- Disiplin Partai yang Kaku: Anggota DPR lebih sering mengikuti instruksi pimpinan partai (ketua umum dan fraksi) daripada suara hati nurani dan konstituennya. Suara mereka dalam pemungutan suara adalah suara partai, bukan suara rakyat di daerah pemilihannya.
- Kuatnya Oligarki Politik: Kekuatan politik dan ekonomi telah menyatu. Para pengusaha besar masuk ke dunia politik dengan menjadi anggota DPR atau mendanai partai. Tujuannya jelas: melindungi dan mengembangkan bisnisnya melalui kebijakan. Rapat DPR menjadi ajang untuk melanggengkan kepentingan oligarkis ini.
- Budaya Politik yang Tidak Sehat: Budaya “balas budi”, “patron-klien”, dan pragmatisme masih sangat kental. Loyalitas pada kelompok lebih diutamakan daripada loyalitas pada bangsa dan negara.
Lantas, Apakah Semua Anggota DPR Terlibat Sandiwara?
Tentu tidak adil jika menyamaratakan semua anggota DPR. Masih ada segelintir anggota yang idealis, vokal, dan konsisten menyuarakan suara rakyat. Mereka sering kali disebut sebagai “penyedia drama” yang sesungguhnya dalam sandiwara ini—mereka yang berusaha melawan arus utama. Namun, sayangnya, suara mereka kerap tenggelam oleh jumlah suara mayoritas yang telah diarahkan oleh kepentingan yang lebih besar.
Melampaui Sandiwara: Apa yang Bisa Rakyat Lakukan?
Mengutuk dan bersikap sinis saja tidak cukup. Sebagai pemilik kedaulatan, rakyat memiliki kekuatan untuk mengubah narasi ini:
- Memilih Secara Cerdas: Pada saat pemilu, pelajari track record calon legislatif. Jangan tergiur oleh uang atau janji-janji palsu. Pilih calon yang memiliki integritas dan komitmen jelas terhadap konstituennya.
- Meningkatkan Pengawasan Publik: Manfaatkan hak untuk menyampaikan aspirasi dan mengkritik kinerja DPR melalui media sosial, petisi online, atau langsung mendatangi kantor DPRD/DPR. Lembaga seperti Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen) rutin mengawasi dan melaporkan kinerja DPR.
- Mendorong Transparansi: Desak DPR untuk lebih transparan dalam proses pengambilan keputusan, termasuk mempublikasikan daftar hadir, dan rekaman rapat yang tidak bersifat rahasia.
- Memperkuat Lembaga Kontra-Oligarki: Dukung peran serta LSM, pers independen, dan akademisi yang kritis dalam mengawasi kinerja DPR dan pemerintah.
Kesimpulan: Antara Realita dan Harapan
Anggapan bahwa rapat-rapat DPR hanya sandiwara para penguasa memang memiliki dasar yang kuat dalam realita politik Indonesia. Praktek oligarki, transaksi politik, dan lemahnya fungsi pengawasan adalah bukti yang sulit dibantah.
Namun, menyerah pada narasi pesimis ini sama saja dengan membiarkan “sandiwara” tersebut terus dipentaskan. DPR tetaplah lembaga konstitusional yang sangat penting. Masalahnya bukan pada institusinya, tetapi pada aktor-aktor yang mengisi dan sistem yang melingkupinya.
Perubahan harus terus didorong dari luar oleh masyarakat sipil yang melek politik dan dari dalam oleh anggota-anggota DPR yang masih memiliki integritas. Tujuan akhirnya adalah mengembalikan DPR pada khittahnya: menjadi juru bicara rakyat yang sejati, bukan panggung sandiwara bagi para penguasa.