Soeharto Rekayasa Supersemar, Ini Buktinya!

Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) sering disebut sebagai tonggak awal lahirnya Orde Baru dan pijakan legal formal bagi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Dokumen ini, yang dikeluarkan pada 11 Maret 1966, dianggap sebagai mandat yang memberikan wewenang penuh kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban negara. Namun, di balik narasi resmi pemerintah Orde Baru, tersembunyi misteri dan kontroversi yang hingga hari ini belum terpecahkan. Banyak sejarawan dan pengamat politik meyakini bahwa Soeharto merekayasa Supersemar untuk legitimasi kudeta halusnya. Lalu, apa saja bukti-bukti yang mendukung dugaan tersebut?

supersemar

Misteri Naskah Asli yang Hilang

Salah satu bukti terkuat dari adanya rekayasa adalah hilangnya naskah asli Supersemar. Soeharto sendiri dalam otobiografinya, “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, mengakui bahwa naskah aslinya tidak ada di tangannya dan menyebutnya sebagai “surat yang tidak ada”. Jika Supersemar adalah dokumen negara yang sangat sakral dan menjadi fondasi perubahan politik nasional, bagaimana mungkin naskah aslinya bisa hilang? Ketidakadaan fisik naskah asli ini membuka ruang bagi spekulasi bahwa isi dokumen yang disebarluaskan mungkin berbeda dengan yang ditandatangani—jika ada—oleh Soekarno.

Kondisi Soekarno yang Tertekan

Peristiwa 11 Maret 1966 terjadi dalam situasi yang sangat mencekam. Istana Negara dikepung oleh pasukan tak dikenal (yang diduga dari pasukan Kostrad pimpinan Soeharto). Soekarno, yang merasa terancam, memutuskan untuk meninggalkan Istana menuju Istana Bogor dengan helikopter bersama para menteri loyalisnya. Di Bogor, ia didatangi oleh tiga perwira tinggi militer: Mayor Jenderal Soeharto, Brigadir Jenderal M. Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud.

Pertemuan ini digambarkan sebagai bentuk “permintaan” dari militer agar Soekarno memberikan surat perintah untuk mengamankan situasi. Soekarno berada dalam posisi terpojok, tidak memiliki pilihan, dan berada di bawah tekanan psikologis yang berat. Dalam kondisi seperti itu, keaslian dan kesukarelaan pemberian mandat sangat dipertanyakan.

Perbedaan Versi dan Isi

Terdapat setidaknya tiga versi naskah Supersemar yang beredar: versi Sekneg, versi Markas Besar Angkatan Darat (AD), dan versi Pusat Penerangan Angkatan Darat (PUSPENAD). Masing-masing versi memiliki perbedaan redaksional yang signifikan, terutama terkait wewenang yang diberikan kepada Soeharto.

Versi yang dianggap paling “otoritatif” dan digunakan Soeharto adalah versi AD. Dalam versi ini, Soeharto diberikan wewenang untuk “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban”. Kalimat inilah yang ditafsirkan secara sangat luas oleh Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), menangkap menteri-menteri yang dituduh terlibat G30S, dan akhirnya, melemahkan kekuasaan Soekarno secara sistematis. Perbedaan antar versi ini menunjukkan adanya proses manipulasi pasca penandatanganan.

Penggunaan Supersemar yang Melampaui Mandat

Bukti rekayasa lainnya terlihat dari bagaimana Soeharto menggunakan Supersemar. Mandat yang konon diberikan hanya untuk mengamankan situasi keamanan justru digunakan untuk melakukan pembalikan politik total. Langkah-langkah Soeharto setelah mendapatkan Supersemar jelas melampaui sekadar pemulihan keamanan:

  1. Pembubaran PKI (tanggal 12 Maret 1966).
  2. Penangkapan 15 menteri kabinet yang dianggap terlibat G30S (tanggal 18 Maret 1966).
  3. Pembersihan unsur-unsur pro-Soekarno di dalam militer dan birokrasi.

Soeharto menggunakan Supersemar bukan sebagai alat untuk menyelamatkan pemerintahan Soekarno, melainkan sebagai pisau hukum untuk membongkarnya dari dalam. Tindakan-tindakan ini menunjukkan bahwa Supersemar telah direncanakan untuk menjadi instrumen peralihan kekuasaan, bukan sekadar surat perintah darurat.

Kesaksian Para Saksi Kunci

Kesaksian dari orang-orang yang terlibat langsung juga memperkuat dugaan rekayasa. Jenderal (Purn.) M. Jusuf, salah satu dari tiga perwira yang menemui Soekarno di Bogor, dalam berbagai wawancara menyatakan bahwa Soekarno memang menandatangani surat tersebut, tetapi dengan sangat terpaksa. Soekarno konon meminta agar surat itu hanya digunakan untuk mengamankan situasi, bukan untuk menggulingkannya.

Yang lebih menarik, Brigjen Sabur (Komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden) justru menyangkal bahwa terjadi pengepungan terhadap Istana. Kesaksiannya bertolak belakang dengan narasi resmi militer yang menjadi alasan untuk “mendesak” Soekarno memberikan mandat.

Kesimpulan: Supersemar sebagai Masterpiece Soeharto

Dari bukti-bukti historis di atas, dapat disimpulkan bahwa Supersemar bukanlah sebuah surat perintah yang diberikan secara sukarela oleh Soekarno. Ia adalah produk dari skenario politik yang dirancang cerdik oleh Soeharto dan kroni-kroninya. Soekarno, yang sedang berada di puncak kelemahan politik dan militer, dipaksa untuk menandatangani surat yang pada akhirnya menjadi alat untuk mengakhiri kekuasaannya.

Hilangnya naskah asli, perbedaan versi, penggunaan yang melampaui mandat, dan kesaksian para saksi merupakan puzzle yang ketika disatukan membentuk gambaran utuh: Soeharto memang merekayasa Supersemar. Dokumen ini adalah masterpiece politik yang memberinya legitimasi semu untuk melakukan transisi kekuasaan, mengubur Orde Lama, dan membangun rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Misteri Supersemar tetap menjadi luka historis yang mengingatkan kita bahwa sejarah seringkali ditulis oleh para pemenang, dan kebenaran sejati memerlukan pengkajian yang kritis dan jujur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *