Selama dekade, kisah rezim Khmer Merah di Kamboja (1975-1979) diceritakan sebagai salah satu babak paling mengerikan dalam sejarah manusia. Di bawah kepemimpinan Pol Pot, rezim ini bertanggung jawab atas kematian sekitar 2 juta orang akibat eksekusi, kerja paksa, kelaparan, dan penyakit. Narasi umum seringkali menyederhanakan konflik ini sebagai perang saudara komunis. Namun, lapisan yang lebih dalam dan lebih gelap terungkap melalui dokumen yang dideklasifikasi dan kesaksian para pejabat: koneksi tidak langsung namun signifikan antara Khmer Merah dan Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat. Koneksi ini bukanlah konspirasi langsung, melainkan buah pahit dari kebijakan realpolitik Perang Dingin.

Latar Belakang: Perang Dingin dan Kekacauan di Kamboja
Untuk memahami hubungan ini, kita harus mundur ke era Perang Dingin. Prinsip utama kebijakan luar negeri AS saat itu adalah “musuh dari musuhku adalah temanku”. Konteks di Asia Tenggara didominasi oleh Perang Vietnam. AS mendukung pemerintah Vietnam Selatan melawan gerilyawan Komunis Viet Cong yang didukung oleh Vietnam Utara dan Uni Soviet.
Kamboja, di bawah kepemimpinan Pangeran Norodom Sihanouk, berusaha menjaga netralitas. Namun, Vietnam Utara menggunakan area perbatasan Kamboja (Jalur Ho Chi Minh) untuk mengirimkan pasokan ke Viet Cong. Pada 1970, Jenderal Lon Nol—didukung diam-diam oleh AS—melakukan kudeta untuk menggulingkan Sihanouk. Lon Nol segera membuka keran bantuan militer dan ekonomi dari AS.
Perang saudara pun meletus. Lon Nol melawan gerilyawan komunis Khmer Merah. Ironisnya, Sihanouk yang digulingkan bersekutu dengan Khmer Merah untuk melawan Lon Nol, memberikan legitimasi populer besar bagi Khmer Merah di pedesaan Kamboja. Pemboman AS yang masif dan seringkali tidak tepat sasaran di pedesaan Kamboja untuk memutus jalur pasukan Vietnam Utara justru memicu radikalisasi penduduk dan merekrut banyak petani miskin ke dalam barisan Khmer Merah.
Kemenangan Khmer Merah dan Kebijakan AS yang Berubah
Pada 17 April 1975, Khmer Merah merebut ibu kota Phnom Penh. Hanya lima hari sebelumnya, AS mengosongkan diplomatnya dari kota dalam operasi helikopter yang dramatis. Khmer Merah segera memulai program pengosongan kota dan pembangunan masyarakat agraria ultra-komunis yang berujung pada genosida.
Saat itu, perhatian dunia terpecah. Di satu sisi, kekejaman Khmer Merah mulai dilaporkan oleh segelintir jurnalis yang berani. Di sisi lain, AS, yang baru saja mengalami trauma kekalahan memalukan di Vietnam, memiliki prioritas lain.
“Hubungan” yang Kontroversial: Dukungan Tidak Langsung di PBB
Puncak dari hubungan tidak langsung ini terjadi setelah tahun 1979. Pada tahun itu, Vietnam—yang didukung penuh oleh Uni Soviet—menginvasi Kamboja dan menggulingkan rezim Khmer Merah, mendirikan pemerintah boneka di bawah Heng Samrin.
Bagi pemerintahan Carter dan kemudian Reagan, invasi Vietnam dilihat bukan sebagai tindakan untuk menghentikan genosida, tetapi sebagai ekspansi kekuatan Soviet-Vietnam di Asia Tenggara. Prinsip Perang Dingin kembali berbicara: Musuh utama AS adalah Uni Soviet dan sekutunya (Vietnam), bukan Khmer Merah.
Oleh karena itu, AS meluncurkan kebijakan diplomatik yang kontroversial:
- Mendukung Kelompok Koalisi Demokratik Kamboja di PBB, yang di dalamnya termasuk Khmer Merah (meskipun mereka adalah bagian yang dominan). Tujuannya adalah untuk memberikan tekanan diplomatik dan militer kepada Vietnam agar menarik diri dari Kamboja.
- Bersikeras bahwa kursi Kamboja di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tetap dipegang oleh perwakilan Khmer Merah (Democratic Kampuchea) alih-alih pemerintah yang didukung Vietnam, meskipun rezim Pol Pot telah digulingkan.
- Memberikan bantuan non-militer secara tidak langsung melalui mitra koalisi kepada pasukan gerilya yang melawan Vietnam, yang tentu saja termasuk mantan anggota Khmer Merah yang masih aktif di perbatasan Thailand-Kamboja.
Menurut dokumentasi dari The Washington Post dan arsip nasional AS, CIA, atas instruksi dari Gedung Putih, secara diam-diam memberikan pendanaan dan koordinasi intelijen kepada kelompok anti-Vietnam ini, yang secara efektif berarti membantu mempertahankan sisa-sisa kekuatan Khmer Merah agar tetap relevan secara politik dan militer sepanjang 1980-an.
Membongkar Kebenaran: Motivasi dan Pembenaran AS
Mengapa AS melakukan hal ini? Jawabannya kompleks:
- Balas Dendam terhadap Vietnam: AS ingin melihat Vietnam melemah dan menarik diri dari Kamboja dengan biaya berapapun.
- Kepentingan Geopolitik: Menghentikan pengaruh Soviet adalah tujuan utama. Mendukung sekutu apa pun yang melawan proksi Soviet dianggap perlu.
- Pembenaran yang Lemah: Pejabat AS membela kebijakan ini dengan argumen bahwa mereka hanya mendukung “faksi non-Komunis” dalam koalisi dan bahwa bantuan itu adalah untuk “membantu rakyat Kamboja yang menderita,” bukan untuk Khmer Merah secara langsung. Namun, dalam praktiknya, sulit untuk memisahkan kedua hal tersebut.
Warisan dan Pengakuan
Baru pada akhir 1980-an dan 1990-an, setelah Perang Dingin mereda, AS mulai secara terbuka mengutuk Khmer Merah dan menarik dukungannya. Pengadilan internasional untuk kejahatan perang akhirnya dibentuk bertahun-tahun kemudian.
Dokumen-dokumen yang dideklasifikasi dan pengakuan dari mantan pejabat seperti Stephen J. Morris (peneliti) dan bahkan Senator AS John Kerry (yang memimpin penyelidikan pada tahun 1990-an) telah mengonfirmasi sifat dan luasnya hubungan tidak langsung ini. Sebuah laporan dari The New York Times pada 2017 berdasarkan arsip intelijen yang baru dirilis semakin memperkuat betapa dalamnya keterlibatan AS dalam mendukung koalisi yang mencakup Khmer Merah.
Kesimpulan: Bukan Konspirasi, Tapi Realpolitik yang Kelam
Klaim bahwa “CIA menciptakan Khmer Merah” adalah simplifikasi yang tidak akurat. Khmer Merah adalah gerakan indigenous yang lahir dari kolonialisme, nasionalisme, dan kekacauan perang sipil.
Namun, klaim bahwa AS, melalui kebijakannya yang didorong oleh mentalitas Perang Dingin, secara tidak langsung memberdayakan dan membantu mempertahankan kelangsungan hidup Khmer Merah pasca-1979 adalah sebuah kebenaran sejarah yang terbukti. Koneksi ini adalah contoh tragis bagaimana prinsip realpolitik—di mana kepentingan strategis mengalahkan moralitas—dapat membuat negara demokratis sekalipun bersekongkol dengan rezim terkejam dalam sejarah, hanya karena mereka kebetulan berperang melawan musuh yang lebih besar.
Pembongkaran hubungan kelam ini bukan hanya tentang mengungkap masa lalu, tetapi juga peringatan abadi tentang konsekuensi yang tidak terduga dan seringkali mengerikan ketika kebijakan luar negeri mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.