Antara tahun 1975 dan 1979, negara Kamboja berubah menjadi laboratorium sosialis yang brutal di bawah rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot. Dalam kurun waktu kurang dari empat tahun, diperkirakan 1.7 hingga 2.2 juta jiwa—hampir seperempat populasi—tewas akibat eksekusi, kelaparan, penyakit, dan kerja paksa. Peristiwa mengerikan ini dikenal dunia sebagai Genosida Kamboja.

Namun, di balik narasi sederhana tentang “kekejaman rezim gila”, tersembunyi lapisan sejarah yang lebih kompleks. Tragedi Kamboja bukan terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah buah simalakama dari pertarungan geopolitik global, agenda negara-negara adidaya, dan kebijakan luar negeri yang acuh tak acuh selama era Perang Dingin. Artikel ini akan mengupas agenda-agenda global yang turut membentuk dan membiarkan genosida tersebut terjadi.
Latar Belakang: Kamboja di Kancah Perang Dingin
Untuk memahami genosida, kita harus melihat konteks globalnya. Perang Vietnam (1955-1975) adalah proxy war antara blok Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Kamboja, di bawah Pangeran Norodom Sihanouk, berusaha netral, tetapi gejolak tak terelakkan.
- Bombardimen AS yang Masif: Dalam upaya memutus jalur pasokan Viet Cong (NVA dan NLF) yang melalui Kamboja, AS melancarkan Operation Menu dan Operation Freedom Deal. Antara 1965-1973, AS menjatuhkan lebih dari 2.7 juta ton bom di Kamboja—lebih dari yang dijatuhkan sekutu di seluruh Perang Dunia II. Pemboman ini memicu destabilisasi besar-besaran, mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa sipil dan mengusir banyak orang dari rumah mereka. Ini menciptakan lahan subur bagi kebencian terhadap Barat dan rekrutmen bagi gerakan gerilya seperti Khmer Merah.
- Kudeta 1970: Jenderal Lon Nol, didukung diam-diam oleh AS, melakukan kudeta terhadap Sihanouk. Lon Nol segera mendapat dukungan militer dan finansial dari AS untuk memerangi Khmer Merah yang semakin kuat. Perang saudara pun meletus, semakin mengobarkan nasionalisme dan sentimen anti-AS di pedesaan Kamboja.
Khmer Merah Berkuasa: Cita-Cita Utopis yang Berubah Menjadi Neraka
Pada 17 April 1975, Khmer Merah merebut ibu kota Phnom Penh. Dengan segera, mereka menerapkan visi radikalnya untuk menciptakan masyarakat agraris komunis tanpa kelas.
- Pengosongan Kota: Dalam hitungan hari, seluruh populasi kota—termasuk pasien rumah sakit—dipaksa berjalan ke pedesaan untuk menjadi petani. Ini adalah langkah pertama pemutusan total dari masa lalu “borjuis”.
- Year Zero: Khmer Merah mendeklarasikan “Tahun Nol”. Mereka ingin menghapus semua sejarah, budaya, agama, pendidikan, uang, dan keluarga. Segala sesuatu yang berbau Barat atau tradisional dihancurkan.
- Ladang Pembunuhan (Killing Fields): Siapa pun yang dicurigai sebagai musuh negara—mantan pejabat, intelektual, orang yang berkacamata (dianggap terpelajar), etnis minoritas seperti Vietnam dan Cham, bahkan orang yang berbicara bahasa asing—dibawa ke tempat seperti Tuol Sleng (S-21) untuk disiksa dan dipaksa mengaku sebagai mata-mata, lalu dieksekusi di Killing Fields.
Agenda Global dan Sikap Dunia Internasional
Di sinilah peran dan agenda negara-negara besar menjadi sangat krusial, bahkan memalukan.
1. Cina: Pendukung Utama
Cina, yang sedang bersaing dengan Uni Soviet untuk kepemimpinan blok komunis, melihat Khmer Merah sebagai sekutu yang berguna. Cina adalah pendukung diplomatik, finansial, dan militer terbesar Khmer Merah. Mereka menyediakan makanan, senjata, dan penasihat teknis. Bagi Cina, Kamboja yang pro-Beijing adalah alat geopolitik untuk membendung pengaruh Vietnam (yang didukung Soviet) dan memperluas hegemoninya di Asia Tenggara.
2. Amerika Serikat: Kebijakan yang Kontradiktif
Sikap AS sangat kompleks dan sering dianggap hipokrit.
- Melawan di PBB: AS secara terbuka mengutuk pelanggaran HAM Khmer Merah.
- Dukungan Terselubung: Ironisnya, secara diam-diam, AS dan sekutunya (termasuk Inggris) terus memberikan dukungan tidak langsung kepada Koalisi Pemerintah Demokratik Kamboja (CGDK) yang di dalamnya termasuk Khmer Merah, setelah mereka digulingkan oleh Vietnam pada 1979. Alasannya? Untuk membendung ekspansi pengaruh Vietnam dan Uni Soviet di kawasan. AS bahkan mendukung agar Khmer Merah tetap memegang kursi PBB mewakili Kamboja hingga tahun 1990-an. Ini adalah langkah realpolitik yang kejam: lebih memilih rezim genosida yang pro-Barat (secara tidak langsung) daripada rezim komunis Vietnam yang didukung Soviet.
3. Thailand: Negara Penyangga yang Pragmatis
Thailand, yang bersekutu dengan AS, khawatir dengan invasi Vietnam. Mereka mengizinkan pasokan senjata dan bantuan untuk Khmer Merah melewati perbatasan mereka dan memberikan sanctuary (perlindungan) bagi para petinggi Khmer Merah. Bagi Thailand, Khmer Merah adalah benteng terhadap ancaman Vietnam.
4. Uni Soviet dan Vietnam: Musuh yang Menjadi “Penolong”?
Uni Soviet mendukung Vietnam. Pada Desember 1978, Vietnam menginvasi Kamboja dan menggulingkan Khmer Merah pada Januari 1979, mendirikan Republik Rakyat Kamboja. Meskipun invasi ini mengakhiri genosida, motifnya bukanlah kemanusiaan, melainkan untuk menghentikan serangan lintas batas Khmer Merah dan memperluas zona pengaruh Soviet. Dunia Barat justru mengutuk invasi Vietnam ini sebagai pelanggaran kedaulatan.
5. PBB dan Komunitas Internasional: Diam yang Mematikan
Kesibukan Perang Dingin membuat komunitas internasional hampir tidak melakukan tindakan nyata. Laporan tentang kekejaman sudah beredar sejak awal, tetapi tidak ada intervensi kemanusiaan yang serius. Kamboja menjadi korban dari ketidakpedulian global yang lebih besar terhadap pertarungan ideologi.
Warisan dan Pelajaran untuk Dunia
Genosida Kamboja akhirnya berakhir dengan jatuhnya Khmer Merah, tetapi dampaknya masih terasa hingga today. Pengadilan internasional (Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia/ECCC) dibentuk untuk mengadili para petinggi Khmer Merah yang masih hidup, meski prosesnya lambat dan penuh politis.
Pelajaran terbesar dari tragedi ini adalah bahwa genosida jarang terjadi secara terisolasi. Ia sering dipicu, diperparah, atau dibiarkan terjadi oleh kepentingan dan agenda geopolitik negara-negara kuat. Kamboja menjadi contoh tragis bagaimana nyawa manusia dapat menjadi bidak dalam papan catur Perang Dingin. Kepentingan nasional, persaingan ideologi, dan realpolitik sering kali mengalahkan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Kesimpulan
Genosida Negara Kamboja adalah sebuah tragedi yang akarnya tumbuh dari dalam, tetapi disirami oleh kebijakan dan agenda global yang saling bersinggungan. Bombardimen AS, dukungan Cina, realpolitik Barat, dan pragmatisme tetangga regional semuanya berkontribusi pada skala dan durasi penderitaan rakyat Kamboja. Memahami kompleksitas ini bukan untuk mengurangi tanggung jawab Khmer Merah sebagai pelaku utama, tetapi untuk mengingatkan kita bahwa dalam hubungan internasional, keheningan dan kebijakan yang hanya mementingkan diri sendiri bisa sama mematikannya dengan peluru. Mengingat Kamboja adalah kewajiban moral, sekaligus peringatan agar sejarah kelam ini tidak terulang di mana pun di dunia.