Raja Norodom Sihanouk, figur sentral dalam sejarah Kamboja modern. (Credit: Getty Images)
Norodom Sihanouk adalah sebuah nama yang tak terpisahkan dari narasi panjang dan berdarah Kamboja abad ke-20. Seorang “Raja-Bapa” yang dicintai, negarawan licin, sutradara film, dan tokoh yang selamat dari turbulensi politik paling ekstrem. Kehidupannya penuh dengan drama, intrik, dan kelicinan diplomatik. Namun, kematiannya pada 15 Oktober 2012 justru memicu pertanyaan yang masih bergaung hingga kini: Siapa sebenarnya dalang di balik kematian Raja Sihanouk?

Untuk memahami kontroversi di balik wafatnya Sang Raja, kita harus pertama-tama memahami pria dan legenda di balik nama tersebut.
Sang Rubah Merah: Kilas Balik Kehidupan Politik Sihanouk
Sihanouk naik tahta pada 1941 di usia 18 tahun, dipilih oleh otoritas kolonial Prancis yang mengira mereka dapat dengan mudah memanipulasinya. Mereka salah besar.
Dengan kecerdikan politiknya, Sihanouk memimpin Kamboja menuju kemerdekaan penuh dari Prancis pada 1953. Ia kemudian turun takhta demi masuk ke dunia politik, mendirikan Sangkum Reastr Niyum (Komunitas Sosialis Rakyat) dan memerintah sebagai Perdana Menteri yang sangat populer. Era 1950-an dan 1960-an sering disebut “Zaman Keemasan” Kamboja, masa netralitas dan pembangunan di tengah Perang Vietnam yang berkecamuk.
Namun, netralitas Sihanouk akhirnya goyah. Ketidakmampuannya menghentikan penyusupan pasukan Viet Cong ke perbatasan Kamboja membuatnya kehilangan dukungan dari kanan (militer) dan kiri (komunis Khmer Merah). Pada 1970, ketika sedang berada di luar negeri, ia digulingkan oleh kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Lon Nol—didukung diam-diam oleh Amerika Serikat.
Ini adalah awal petaka. Sihanouk, demi balas dendam, bersekutu dengan musuh bebuyutannya: Khmer Rouge (Khmer Merah). Popularitasnya dimanfaatkan oleh Pol Pot untuk merekrut ribuan petani ke dalam pergerakannya. Hasilnya adalah genosida mengerikan di mana seperempat populasi Kamboja tewas.
Setelah jatuhnya Khmer Rouge, Sihanouk kembali menjadi figur pemersatu dan dinobatkan kembali sebagai Raja pada 1993, meskipun kekuasaan nyata berada di tangan Perdana Menteri Hun Sen.
Kematian di Beijing: Fakta Medis yang Resmi
Raja Sihanouk memiliki riwayat kesehatan yang buruk, menderita diabetes, hipertensi, dan kanker. Pada awal 2012, ia berangkat ke Beijing, Tiongkok, seperti biasa, untuk menjalani perawatan medis rutin.
Pada 15 Oktober 2012, istana kerajaan Kamboja mengumumkan bahwa Raja Sihanouk meninggal dunia akibat serangan jantung di Rumah Sakit Pusat Beijing pada pukul 02.00 dini hari waktu setempat. Ia wafat di usia 89 tahun. Jenazahnya diterbangkan kembali ke Phnom Penh untuk disambut dengan duka cita mendalam oleh seluruh bangsa Kamboja.
Pernyataan resmi dari pemerintah Tiongkok dan Kamboja menyatakan kematiannya adalah alami, akibat komplikasi dari berbagai penyakit yang telah lama dideritanya. Tidak ada indikasi foul play atau permainan kotor dalam laporan medis resmi.
Lalu, dari mana munculnya teori tentang “dalang” di balik kematiannya?
Membedah Teori Konspirasi: Siapa Dalang yang Dimaksud?
Dalam bayang-bayang berita resmi, teori konspirasi tumbuh subur. Bagi banyak pengamat dan oposisi pemerintah Hun Sen, kematian “alami” Sihanouk terlalu mudah. Beberapa pihak menuduh adanya campur tangan dari pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu oleh sang Raja.
- Hun Sen dan Rezim CPP: Teori yang paling populer menunjuk pada Perdana Menteri Hun Sen dan partai penguasa, Cambodian People’s Party (CPP). Sihanouk, meski sudah tua dan sakit, tetap menjadi satu-satunya figur dengan moral authority yang dapat menantang Hun Sen. Kritik halus Sihanouk terhadap korupsi dan pelanggaran HAM seringkali memalukan pemerintah. Teori ini menyatakan bahwa kematiannya “diamankan” untuk menghilangkan penghalang terakhir bagi kekuasaan absolut Hun Sen, membuka jalan untuk suksesi putranya, Hun Manet.
- Pihak Asing (Tiongkok): Teori lain berpusat pada Tiongkok. Beijing adalah sekutu terdekat dan penyandang dana terbesar Kamboja. Sihanouk memiliki hubungan istimewa dan lama dengan pemimpin Tiongkok. Namun, beberapa analis berspekulasi bahwa jika Sihanouk diketahui akan melakukan sesuatu yang dapat mengacaukan stabilitas pro-Tiongkok di Kamboja, kepentingan geopolitik Tiongkok mungkin lebih diutamakan. Kematiannya di Beijing sendiri memberikan bahan bakar bagi teori ini, meski tanpa bukti.
- Khmer Merah Sisa: Teori yang lebih marginal menuduh sisa-sisa Khmer Rouge yang masih menyimpan dendam terhadap Sihanouk karena telah mengkhianati mereka pasca-1979 atau karena bersekutu dengan Vietnam.
Analisis: Antara Fakta dan Fiksi
Meski teori-teori ini menarik untuk dibicarakan, mayoritas sejarawan dan analis politik yang kredibel cenderung menolak narasi konspirasi.
- Usia dan Sakit: Sihanouk berusia 89 tahun dan telah berjuang melawan kanker dan penyakit kardiovaskular selama bertahun-tahun. Kematian akibat serangan jantung adalah hal yang sangat wajar dan dapat dijelaskan secara medis.
- Tidak Ada Motif Kuat: Pada 2012, Hun Sen sudah sangat berkuasa. Pengaruh politik Sihanouk sudah sangat dibatasi dan ia jarang sekali mencampuri urusan pemerintah secara terbuka. Membunuhnya justru akan menciptakan martir dan risiko destabilisasi yang tidak perlu bagi Hun Sen.
- Tidak Ada Bukti: Sampai saat ini, tidak ada satu pun bukti konkret, laporan autopsi independen, atau pengakuan yang dapat mendukung klaim bahwa ia dibunuh. Segala sesuatu tetap pada tingkat spekulasi dan kecurigaan politik.
Kesimpulan: Warisan yang Lebih Besar dari Kematiannya
Pertanyaan “Siapa dalang di balik kematian Raja Sihanouk?” mungkin tidak akan pernah terjawab secara memuaskan bagi para penganut teori konspirasi. Namun, fiksasi pada kematiannya justru mengaburkan warisan kompleks yang ia tinggalkan.
Sihanouk adalah simbol nasionalisme Kamboja dan pemersatu bangsa, tetapi juga seorang yang ambisius dan licin yang keputusannya—terutama aliansi dengan Khmer Rouge—secara tidak langsung membuka jalan bagi salah satu tragedi kemanusiaan terburuk dalam sejarah.
Kematiannya menandai berakhirnya sebuah era. Ia mungkin wafat secara alami di usia senja, tetapi legenda, kontroversi, dan pertanyaan tentang perannya dalam sejarah Kamboja yang bergejolak akan terus hidup dan diperdebatkan jauh lebih lama daripada spekulasi tentang dalang di balik kematiannya. Ia tetap, dalam kematian seperti dalam kehidupan, sebuah teka-teki yang menyelimuti negeri Angkor.